Dengan tingkat pajak ekspor yang demikian, dimana pajak ekspor produk turunan lebih tinggi dari pada bahan baku (CPO), tidak memberi insentif untuk industri (pengolahan lebih lanjut) di dalam negeri. Apakah kebijakan yang demikian menguntungkan konsumen minyak goreng dalam negeri?
Secara teoritis, kebijakan pajak ekspor yang demikian menciptakan distorsi ekonomi yang secara neto mengurangi/menurunkan penerimaan devisa dan pendapatan para usaha perkebunan kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat. Dapat dipastikan bahwa peningkatan pandapatan pemerintah dan peningkatan kesejahteraan konsumen minyak goreng di dalam negeri lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang dialami perkebunan kelapa sawit.
Hasil studi Larson (1996) untuk periode tersebut membuktikan teoritis tersebut. Nilai penurunanpendapatan usaha perkebunan kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat di dalamnya, lebih besar dari pada nilai pajak ekspor yang diterima pemerintah ditambah dengan manfaat (consurmer surplus) yang dinikmati konsumen minyak goreng didalam negeri. Selain itu nilai penurunan penerimaan ekspor akibat kebijakan tersebut jauh lebih besar dari pajak ekspor yang diterima pemerintah.
Dengan kata lain, kebijakan pajak ekspor yang demikian secara keseluruhan menurunkan kesejahteraan masyarakat (worse-off). Mereka yang menikmati peningkatan manfat (better-off) yakni pemerintah dan konsumen, lebih kecil (dalam ukuran moneter) dibandingkan dengan kerugian (worse-off) yang dialami para pelaku perkebunan kelapa sawit termasuk di dalamnya perkebunan rakyat skala kecil.
Sumber : GAPKI