Selain itu, dilihat dari segi kemudahan perhitungan tarif, kebijakan penetapan pajak ekspor yang demikian cukup rumit karena harus terlebih dahulu menetapkan harga tertinggi (HD) tidak dikenakan tarif untuk masing-masing produk dan menetapkan harga ekspor. Kelemahan lainnya adalah pajak ekspor produk olahan lebih tinggi dari pada bahan baku (CPO) sehingga tidak ada intensif untuk pengolahan CPO di dalam negeri.
Dalam rangka diregulasi 7 Juli 1997, pemerintah akhirnya mengubah kebijakan penetapan pajak ekspor CPO dan produk turunannya. Melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 300/KMK.01/1997 kebijakan pajak ekspor diubah menjadi pajak advalorem tentunya dari nilai ekspor yang diterapkan semula berkisar 10%-12%, kemudian berubah secara periodik dan pada Juli 1998 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pajak ekspor mencapai 60%, lalu diturunkan menjadi 40% sampai Juni 1999 dan menjadi 10% pada September 1999. Sampai Februari 2001, pajak ekspor sudah tinggal 5% dan menjadi 3% pada tahun 2002 sampai 2005.
Setelah tahun 2005, kebijakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya semakin intensif baik dilihat dari cakupan produk maupun besaran tarif melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 92/PMK-02/2005 cakupan pajak ekspor mencakup 5 jenis. Selain 4 jenis sebelumnya, komoditi buah dan inti sawit dikenakan pajak ekspor sebesar 3%.
Sumber : GAPKI