Selain penetapan harga COP domestik, pemerintah juga mengharuskan penggunaan produksi CPO di Indonesia diutamakan untuk kebutuhan dalam negri, baik untuk industri minyak goreng maupun industri lain. Kebijakan pengutamaan pasar domestik ini bukan hanya berlaku bagi CPO tetapi juga berlaku untuk palm kernel oil (PKO).
Dampak dari kebijakan tersebut adalah pangsa untuk ekspor CPO mengalami penurunan dan untuk konsumsi domestik meningkat. Bila sebelum tahun 1978 sebagian besar CPO Indonesia adalah untuk tujuan ekspor, setelah tahun 1978 berangsur-angsur turun. Hal yang sama juga terjadi pada PKO, pangsa untuk ekspor makin menurun dan pangsa untuk konsumsi domestik meningkat. Dengan kata lain, untuk pertama kali dalam sejarah agrobisnis minyak sawit Indonesia terjadi perubahan draktis dalam orentasi pasar, yakni semula berorientasi ekspor (exsport orientation) yakni sebelum tahun 1978, menjadi berorientasi pada pasar domestik (domestik market oerientation).
Dengan perubahan orientasi pasar yang demikian, berarti Indonesia meninggalkan pasar ekspornya baik CPO maupun PKO. Hal ini tercermin dari penurunan pangsa Indonesia dalam pasar ekspor CPO dunia yang semula (sebelum tahun 1978) memiliki pangsa diatas 10%, turun menjdi dibawah 10% setelah tahun 1978. Pasar ekspor yang ditinggalkan Indonesia ini kemudian diambil alih Malaysia yang secara konsisten berorientasi ekspor.
Apakah kebijakan pengutamaan pasar domestik yang disertai dengan penetapan harga maksimum berhasil? Hal ini menarik didesikasikan lebih lanjut. Bila diperhatikan, harga CPO penetapan pemerintah dengan harga CPO aktual didalam negeri selama masa periode kebijakan tersebut menunjukan hal-hal yang menarik. Pertama, harga CPO aktual dipasar domestik pada umumnya diatas harga CPO penetapan pemerintah (harga maksimum) baik dalam rupiah maupun dalam dollar Amerika Serikat. Kedua, terjadi disparitas harga CPO anatara pasar domestik (aktual) dengan pasar ekspor (f.o.b Belawan) yang cukup besar apa lagi dibandingkan dengan harga dunia (Rotterdam).
Sumber : GAPKI