Dengak kata lain, kebijakan pir dan PBSN yang demikian merupakan kebijakan yang bersifat pareto imrovement, yakni memberi manfaat bagi semua pihak baik petani/perkebunan rakyat, perusahaan perkebunan swasta dan negara (BUMN), pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan. Manfaat tersebut bahkan juga dinikmati masyarakat dunia baik melalui ketersediaan minyak nabati yang lebih murah maupun jasa lingkungan yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit.
Kebijakan Alokasi dan harga Maksimum CPO Domestik
Pada periode tahun 1973-1990, pemerintah pernah menempuh kebijakan pengalokasian dan harga CPO domestik. Tujuan kebijakan waktu itu adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng yang saat ini mengalami kekurangan bahan baku dari kelapa/kopra.
Pada awalnya (1973-1978) pemerintah menetapkan harga pembelian CPO bagi industri minyak goreng dengan harga Rp. 120 per kilo gram. Namun karena tidak efektif, melalui SKB Menteri (Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Koperasi) No: 275/KPB/XII/1978, No: 252/M/SK/12/1978, No: 764/KPTS/UM/1978 tanggal 16 Desember 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengharuskan penggunaan produksi CPO domestik diutamakan untuk kebutuhan dalam negri dan dengan harga CPO ditetapkan pemerintah secara periodik (tiga bulan sekali) oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi pada waktu itu.
Dengan kebijakan pengaturan harga (harga maksinum) CPO domestik, harga penetapan CPO berubah dari Rp. 120/kg (pertengahan tahun 1978) berubah menjadi Rp. 198/kg sampai akhir tahun 1979. Kemudian diubah tiga bulan sekali dengan awal tahun 1991 menjadi Rp. 550/kg.
Sumber : GAPKI