Secara nasional, konsumsi minyak goreng sawit sebagian dikonsumsi masyarakat dalam bentuk minyak goreng, yakni mencapai 80%. Sisanya, yakni 20% dalam bentuk kemasan (bermerek). Selain karena harga minyak goreng curah lebih murah (20%-30% di bawah harga minyak goreng kemasan). Masyarakat Indonesia tampaknya belum banyak menuntut atribut produksi yang lebih rinci (brand minded) sebagaimana diperoleh dari minyak goreng kemasan.
Meskipun pangsa pasar minyak goreng bermerek hanya sekitar 20%, telah cukup banyak produk minyak goreng dipasar. Beberapa diantaranya adalah Bimoli, Filma, Tropical, Fortune, Sania, Kunci Mas, Madina, Rolebrand, Delima, Sunco, Avena, Sarimurni. Hal ini berarti, pada segmen pasar minyak goreng bermerek cenderung terjadi persaingan monopolistik (monopolistic competition) yang sangat intensif. Sebagaimana struktur pasar persaingan monopolistik, persaingan yang terjadi bukanlah pada tingkat harga melainkan pada variabel di luar harga (non price competition) seperti promosi/iklan. Beberapa minyak goreng sawit bermerek mempromosikan diri sebagai minyak goreng nonkolestrol. Padahal semua minyak goreng yang bahan bakunya dari tumbuh-tumbuhan, tidak mengandung kolestrol.
Mengingat masih terbatasnya pangsa minyak goreng bermerek di Indonesia, serta tingginya persaingan pada segmen ini, sebagian produsen minyak goreng sawit menyiasati dengan menghasilkan keduannya yakni minyak goreng curah dan bermerek. Sekitar 32% produsen minyak goreng yang ada menghasilkan minyak goreng yang ada menghasilkan minyak goreng bermerek dan minyak goreng curah. Dengan cara ini, produsen dapat memanfaatkan pasar minyak goreng curah (umumnya konsumen kelas berpendapatan menegah kebawah) dan pasar minyak goreng bermerek (konsumen kelas berpendapatan menengah keatas).
Sumber : GAPKI