Meningkatkan kebutuhan lahan untuk pertanian global, menyebabkan lahan gambut juga dimanfaatkan . Sekitar 78 persen lahan gambut dunia telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, dimana 88 persen berada pada lahan gambut non-tropis dan 12 persen di daerah tropis (Strack, 2008). Lahan gambut di Indonesia yang layak digunakan untuk pertanian (dengan syarat yang ditetapkan pada Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009) hanya sekitar 6 juta hektar (Fahmuddin, et al., 2008).
Penelitian emisi GHG lahan gambut tropis di Indonesia dan Malaysia sudah banyak dilakukan antara lain Murayama dan Bakar (1996), Hadi, et al.,2001; Melling, et al., 2005,2007; Germerand Souaerbron, 2008; Sabiham, et al., 2012,2013. Hasil-hasil empiris tersebut mengungkapkan bahwa: (1) Emisi GHG bervariasi baik akibat variasi lahan gambut maupun perbedaan vegetasi dan tata air, (2) Pada kondisi alamiah lahan gambut (hutan gambut tropis, hutan gambut skunder) menghasilkan emisi GHG dan, (3) Lahan gambut yang ditanami kelapa sawit dapat mengurangi emisi GHG.
Hasil empiris menunjukan bahwa emisi GHG perkebunan kelapa sawit dilahan gambut lebih rendah dari emisi GHG lahan/hutan gambut sekunder maupun primer. Bukti empiris ini sekaligus mengoreksi pandangan (umumnya LSM) yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit di lahan gambut meningkatkan emisi CO2 gambut.
Land Use Peat Land | Emisi Ton CO2/ha/tahun | Peneliti |
Hutan gambut primer | 78,5 | Melling, et al., 2007 |
Hutan gambut skunder | 127,0 | Hardi, et al., 2001 |
Kelapa sawit gambut | 57,6 | Melling, et al., 2007 |
Kelapa sawit gambut | 55,0 | Melling, et al., 2005 |
Kelapa sawit gambut | 54,0 | Murayama & Bakar, 1996 |
Kelapa sawit gambut | 31,4 | Gemer & Sauaerbron, 2008 |
Sumber : GAPKI