Penulis: Ismi Amalia Dini Nasution (Mahasiswa Universitas Sumatera Utara)
Kemenperin menjadikan industri hilir kelapa sawit sebagai sektor prioritas nasional karena dianggap dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menyerap tenaga kerja dan berkontribusi nyata dalam mewujudkan sustainable development goals.
Ditengah maraknya isu negatif dan pencekalan terhadap minyak sawit, sawit Indonesia nyatanya mampu menyumbangkan dampak besar terhadap perekonomian nasional. Hal ini ditandai dengan keputusan Kementrian perindustrian memasukkan produk hilir sawit ke dalam RIPIN (Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional) tahun 2015-2035. Langkah peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri tersebut, telah menunjukkan hasil signifikan yang terlihat dari indikator rasio ekspor produk hulu dengan produk hilir minyak sawit yang semula 60%:40% pada tahun 2010 bergeser menjadi 22%:78% di 2017.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan, sejak program hilirisasi bergulir pada 2011, investasi mengalir deras ke sektor ini dengan nilai sekitar US$ 4 miliar. Alhasil, kapasitas produksi industri CPO hilir naik. Sebanyak 85% investasi industri hilir sawit adalah modal dalam negeri.
Kemenperin optimis Indonesia memiliki potensi dan peluang besar dalam menjalankan program hilirisasi industri kelapa sawit dan pengotimalan penggunaan bahan bakar nabati yang lebih ramah lingkungan. Sebab, Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar CPO dan minyak inti sawit mentah (crude palm kernel oil/CPKO) yang mencapai 47 juta ton pada 2018. Angka ini cukup besar, mengingat minyak sawit merupakan produk pertanian.
I Gusti Putu Suryawirawan selaku Direktur Jenderal Ketahanan Pangan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) menyatakan bahwa mereka sedang mengkaji produk hilir minyak kelapa sawit agar dapat segera di ekspor ke luar negeri. Pengkajian ini bertujuan untuk memerangi kampanye hitam minyak kelapa sawit yang akhir-akhir ini memanas ditandai dengan diberlakukannya European Union’s Renewable Energy Directive II (RED II).
Menurut Putu, terdapat tiga jalur hilirisasi industri CPO di dalam negeri yang masih potensial untuk terus dikembangkan yaitu hilirisasi oleopangan (oleofood complex), hilirisasi oleokimia (oleochemical complex), dan hilirisasi biofuel (biofuel complex).
Hilirisasi oleopangan adalah industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleopangan (intermediate oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood product). Berbagai produk hilir oleopangan yang telah dihasilkan di Indonesia antara lain minyak goreng sawit, margarin, vitamin A vitamin E, shortening, ice cream, creamer, cocoa butter atau specialty-fat.
Adapun hilirisasi oleokimia, adalah industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia, oleokimia dasar, sampai pada produk jadi seperti produk biosurfaktan (seperti produk detergen, sabun, dan sampo), biolubrikan (biopelumas), dan biomaterial (contohnya bioplastik).
Selanjutnya, hilirisasi biofuel adalah industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel, seperti biodiesel, biogas, biopremium, bioavtur, dan lain-lain.
Data Kemenperin menunjukkan bahwa komoditas kelapa sawit CPO dan produk turunannya menjadi kontributor utama terhadap kinerja ekspor nasional dengan nilai sebesar USD22,97 miliar pada tahun 2017 (tidak termasuk oleochemical dan biodiesel). Capaian ini membuat Indonesia mampu menguasai 52% pasar ekspor minyak sawit di dunia. Selain itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja sebanyak 21 juta orang baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan, Indonesia berkontribusi sebesar 48 persen dari produksi CPO dunia. Oleh karena itu, Indonesia berpeluang menjadi pusat industri pengolahan sawit global untuk keperluan pangan, nonpangan, dan bahan bakar terbarukan.
Industri hilir sawit selain dapat menambah devisa negara dan membuka lapangan pekerjaan baru, juga dapat menciptakan terobosan baru di bidang ketahanan pangan dan penggunaan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan melalui produk biofuel kompleks. Pengkajian juga terus dilakukan untuk menangkis serangan Uni Eropa tentang penggunaan minyak nabati untuk kebutuhan biofuel, seperti yang telah disebutkan di atas. Untuk mengatasi nya, Kemenperin memberikan solusi pemaksimalan penggunaan limbah sawit sebagai bahan baku biofuel.
Terbukti meskipun selama ini diterpa isu miring dan kampanye negatif, minyak sawit berkontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui program hilirisasi. Hal ini tentu sejalan dengan rencana pembangunan Sustainable Development Goals yang dicanangkan PBB sejak tahun 2016, khususnya terkait pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesenjangan dan ketidaksetaraan bagi masyarakat. Bukan tanpa alasan Kemenperin menjadikan industri minyak sawit menjadi salah satu sektor prioritas nasional.
Oleh karena itu, program hilirisasi industri minyak sawit perlu terus didorong untuk menghasilkan nilai tambah tinggi terhadap perekonomian nasional, meningkatkan devisa negara, menjaga nilai tukar rupiah, mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, mendongkrak penerimaan negara, menyerap produksi berlebih (over supply), menjaga harga, serta memperkuat ketahanan pangan dan energi nasional yang akan bermuara pada pencapaian sustainable development goals di tahun 2030 mendatang.
Pernyataan mengenai kontribusi minyak sawit terhadap pencapaian SDGs sendiri sudah dilansir oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melalui siaran berita di situs resmi nya. Pembukaan lahan kelapa sawit di daerah rural dianggap telah memberi peningkatan terhadap pendapatan masyarakat setempat. Bahkan sebanyak 40% lahan kelapa sawit di Indonesia dimiliki oleh petani kecil yang memiliki penghasilan tujuh kali lipat lebih besar dari petani komoditas lain.
Menurut GAPKI, perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia turut mendorong pertumbuhan ekonomi dan membantu pemerataan antara masyarakat urban dan masyarakat rural. Produksi per hektar minyak kelapa sawit yang tinggi juga menunjukkan bahwa penggunaan lahan perkebunan yang efisien dan memitigasi perubahan iklim dunia melalui penyimpanan dan sekuestrasi karbon. Industri minyak sawit adalah kunci pencapaian SDGs terutama dalam pengentasan kemiskinan dan mengatasi kesenjangan dan ketidaksetaraan. (*)