JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Presidensi Indonesia akan segera diadakan di Bali pada 15-16 November 2022. G20 adalah forum internasional yang fokus pada koordinasi kebijakan di bidang ekonomi dan pembangunan. G20 merepresentasikan kekuatan ekonomi dan politik dunia, dengan komposisi anggotanya mencakup 80% PDB dunia, 75% ekspor global, dan 60% populasi global.
Anggota-anggota G20 terdiri atas 19 negara dan 1 kawasan, yaitu: Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Republik Korea, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Indonesia dapat menjadi anggota G20 karena dinilai memenuhi sejumlah prasyarat. Dikuti[ dari penjelasan Rafi Gandana dalam forum quora.com bahwa Indonesia sering dianggap sebagai satu-satunya kekuatan regional Asia Tenggara yang mewakili sekitar 40% dari populasi dan ekonomi ASEAN. Malaysia dan Singapura memang lebih baik dari Indonesia dengan PDB gabungan sekitar $818 Miliar, Malaysia dan Singapura masih jauh dari PDB Indonesia sebesar $1,3 Triliun.
Adapun fakta menarik lainnya adalah Indonesia menjadi satu-satunya negara produsen CPO yang menjadi anggota G20. Indonesia adalah produsen utama minyak sawit dunia mencapai 58%, disusul Malaysia sebesar 26%. Urutan berikutnya adalah Thailand, Papua Nugini, dan negara lain.
Melalui forum G20, Indonesia dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran dunia arti penting sawit bagi pemenuhan kebutuhan pangan dan energi. Mengingat, 85% pasokan minyak sawit global berasal dari Indonesia.
Dalam G20 Sustainable Vegetable Oils Conference (G20 SVOC) yang digelar di Nusa Dua Bali, Kamis (13/10), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto secara virtual menjelaskan tentang pentingnya peran industri kelapa sawit bagi perekonomian dan dalam merespon tantangan iklim global. Menko Airlangga menjelaskan bahwa konferensi internasional G20 SVOC juga dirancang untuk menjadi forum dialog terbuka untuk membahas dan merumuskan strategi untuk menghadapi tantangan rantai pasokan minyak nabati global.
“Kita tahu bahwa minyak sawit telah menjadi minyak nabati yang paling efisien dan dapat memberikan jawaban atas krisis saat ini,” kata Menko Airlangga.
Secara lebih rinci Menko Airlangga menjelaskan terkait beberapa keunggulan kelapa sawit antara lain, minyak sawit sangat efisien dalam hal penggunaan lahan, perkebunan kelapa sawit secara signifikan mendukung pencapaian SDGs karena perkebunan kelapa sawit mampu menyerap 64,5 ton CO2 per hektar per tahun dan dapat menghasilkan 18,7 ton oksigen per hektar per tahun.
Lebih lanjut, Menko Airlangga menyampaikan bahwa telah berbicara ke PBB beberapa waktu lalu bahwa Sekretariat CPOPC bertindak sebagai asosiasi antar Pemerintah negara produsen yang bekerja untuk memastikan bahwa minyak sawit memang mendukung pembangunan berkelanjutan.
Menko Airlangga juga mengapresiasi keberadaan Global Framework Principles for Sustainable Palm Oil (GFP-SPO). Inisiatif tersebut membuka arah masa depan bagi sektor kelapa sawit untuk menjadi ujung tombak upaya keberlanjutan global, dengan menekankan, antara lain, praktik yang efisien, kepatuhan, dan inklusivitas
“Kelapa sawit merupakan industri yang berpusat pada rakyat. Pemerintah juga memprioritaskan masyarakat dalam pengembangan industri kelapa sawit. Saya perhatikan Sekretariat CPOPC berusaha untuk terus melibatkan petani kecil. Sekitar 40% produksi yang memenuhi pasokan minyak sawit global dihasilkan oleh petani kecil. Hal tersebut akan membantu meningkatkan produksi minyak sawit untuk memenuhi permintaan global yang meningkat dan menawarkan stabilitas harga pangan,” jelas Menko Airlangga.