JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Minyak sawit berpotensi sebagai sumber ingridien fungsional untuk pengembangan pangan fungsional. Hal ini dikarenakan secara alami, minyak sawit mengandung (i) tokoferol dan tokotrienol, (ii) karotenoid dan (iii) asam lemak esensial tinggi, yaitu asam lemak linoleat.
Jadi minyak sawit juga berfotensi sebagai sumber alami vitamin E, khususnya tokotrienol. Kandungan tokotrienol minyak sawit lebih tinggi dibandingkan kandungan tokotrienol pada minyak nabati lainnya. Tokotrienol ini tidak ditemukan minyak kedelai, minyak kanola, minyak rape seed, minyak bunga matahari dan hanya ditemukan dalam jumlah rendah pada minyak dedak padi, barley, dan minyak lembaga gandum. Secara umum, kandungan tokoferol dan tokotrienol (senyawa vitamin E) pada minyak sawit dan sumber pangan lainnya.
Selain itu, minyak sawit juga merupakan bahan alam kaya senyawa karotennoid (pro vitamin A). Kandungan karotenoid pada minyak sawit dan perbandingannya dengan bahan pangan lainnya. Kandungan karotenoid yang tinggi (sampai sekitar 500-700 ppm) ini menyebabkan minyak sawit kasar (crude palm oil, CPO) hasil pengepresan buah sawit yang akan berwarna merah kecoklatan.
baca juga: Menggali Cuan Produk Vitamin A dan E Berbasis Sawit
Karotenoid dapat berfungsi ganda, baik sebagai antioksidan maupun sebagai sumber vitamin A bagi tubuh. Sayangnya, minyak goreng sawit yang beredar di pasaran telah mengalami proses pemucatan dan deodorisasi sedemikian rupa sehingga kandungan karotenoidnya telah mengalami penurunan secara tajam. Oleh sebab itu, perlu ada upaya dari industri untuk memodifikasi proses yang lebih ramah terhadap karotenoid, sehingga diperoleh minyak dengan kandungan karotenoid yang lebih tinggi.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerindah dan industri perlu pula melakukan upaya pendidikan untuk memperkenalkan kepada konsumen mengenai keunggulan minyak sawit kaya karotenoid yang masih berwarna merah. Minyak sawit merah, yaitu minyak sawit yang diproduksi dengan tehnik pemurnian khusus sehingga tidak menyebabkan hilangnya karotenoid, perlu dikembangkan di Indonesia karena berpotensi untuk digunakan sebagai sumber asupan vitamin A bagi masyarakat. Hal ini menjadi lebih relevan lagi karena sampai saat ini permasahana kekurangan vitamin A masih ditemui di Indonesia, dan karenannya memerlukan intervensi pemerintah.
Seperti telah diutarakan di depan, pengepresan buah sawit yang akan menghasilkan miyak sawit kasar (crude palm oil, CPO) berwarna merah kecoklatan. Sesuai dengan namanya, CPO masih mengandung beberapa komponen non minyak (asligliserol); seperti asam lemak bebas, air, beberapa unsur logam, dan pengotor lainnya. Hal ini menyebabkan CPO mempunyai bau yang tidak diinginkan dan mempunyai stabilitas sangat rendah.
Untuk menjaga kualitas dan stabilitasnya, perlu beberapa proses pemurnian lanjutan, antara lain dengan proses degumming, netralisasi dan deodorisasi sehingga menghasilkan minyak yang disebut Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO). RBDPO bersifat tidak berbau dan lebih stabil selama penyimpanan.
RBDPO mengandung beragam molekul triasilgliserol yang beragam, dan karena itu dapat dipisah-pisahkan (difraksinasi) menjadi beberapa bagian dengan karakteristik fisika yang berbeda. Berbagai fraksi atau bagian minyak ini dapat digunakan untuk keperluan aplikasi khusus yang berbeda.
Selain itu, RBDOP atau hasil fraksinasinya juga dapat diolah lebih lanjut dengan beberapa proses lanjutan, antara lain dengan proses pencampuran, interesterifikasi dan transesterifikasi untuk menghasilkan minyak dengan karakter tertentu sesuai dengan tujuan aplikasinya.
Sumber: Buku Tinjauan Singkat Karakter Unik Minyak Sawit, Prof. Purwiyatno Hariyadi