JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalangan akademisi menilai Uni Eropa menerapkan kebijakan bersifat diskriminasi dan menghambat perdagangan kelapa sawit. Itu sebabnya, pemerintah Indonesia akan menggugat keputusan Uni Eropa yang tertuang Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation.
“Kita (Indonesia) pemerintah mengerti kenapa kita mendaftarkan kasus ini ke WTO (red-World Trade Organization) karena tahu kedua ketentuan tersebut telah dan akan mendiskriminasikan minyak sawit. Oleh karena itu, semua yang perlu disiapkan telah mulai disiapkan termasuk menyewa firma hukum, kita ingin hal yang terkait diskriminasi dan perlakuan yang tidak menyenangkan perlu diselesaikan,” tegas Dr. Rosediana Suharto, Direktur Responsible Palm Oil Initiative (RPOI).
Dalam Delegated Regulation terdapat klasifikasi bahwa minyak sawit sebagai sumber energi yang berisiko ILUC tinggi atau High Indirect Land-Use Change (ILUC) Risk. Rosediana mempertanyakan kenapa hanya minyak kelapa sawit yang dimasukkan sebagai tanaman beresiko tinggi ILUC atau High ILUC Risk dengan alasan perkebunan sawit ditanam di wilayah hutan tropis dan lahan gambut tropis. Sebab, sebagai negara yang beriklim tropis sangatlah wajar perkebunan sawit Indonesia ditanam di lahan tropis. Akan tetapi, pemerintah telah mengatur areal penggunaan lain bagi perkebunan sawit seperti Areal Penggunaan Lain (APL) sesuai regulasi berlaku di Indonesia.
Apabila kelapa sawit memilki high ILUC risk bagaimana soya yang ditanam di sekitar Amazone ? Walaupun kerusakan hutannya tinggi tetapi tidak tergolong high ILUC ? Banyak alasan lain untuk mengeluarkan minyak kelapa sawit dari dari penggunaannya sebagai biodiesel.
Rosediana juga mengatakan terlihat sekali bahwa keinginan EU untuk mengeluarkan minyak sawit dari penggunaan sebagai biodiesel. Disamping itu, insentif untuk penggunaan minyak kelapa sawit sebagai biodiesel dihapus berarti bila minyak sawit tetap digunakan untuk energi terbarukan. Maka sumbangan saving emission tidak dihitung untuk pencapaian nasional target. Kalau demikian, siapa di Eropa yang akan beli minyak sawit untuk renewable energy terkecuali untuk penggunaan lainnya. Ekspor sawit yang meningkat banyak alasannya terutama untuk penggunaan lain selain biodiesel pada tahun mendatang kita akan melihat bagaimana dampak ketentuan baru ini kepada ekspor minyak sawit untuk biodiesel bukan untuk pangan.
“Dengan melarang sawit berada di lahan tropis, seakan-akan kita berdosa jika menanam sawit. Memangnya, kalau sawit tidak ditanam di iklim tropis. Mau ditanam dimana? Tanam di Eropa, jelas sawit tidak bisa tumbuh,” kata Rosediana.
Disamping itu label “No Palm Oil “ di produk pangan atau lainnya hanyalah bentuk kampanye negatif terhadap minyak sawit untuk mengetahui bahwa minyak sawit tidak ada dalam produk tersebut cukup pada list of content atau konten nutrisi jangan ditulis palm oil.
Konselor Perubahan Iklim dan Lingkungan UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Michael Bucki menyatakan bahwa Uni Eropa memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk membuktikan kelapa sawit tidak termasuk tanaman beresiko tinggi ILUC. Sebab, laporan terkait ILUC akan diujikembali pada 2021 dan 2023 sebagai dasar untuk menetapkan kategori ini. “Jika terbukti beresiko tinggi, maka biofuel harus mengikuti sertifikasi,” ujarnya.
Bayu Krisnamurthi, Pengamat Kelapa Sawit, menegaskan pernyataan sawit masuk kategori high risk sementara tanaman minyak nabati lain tidak termasuk merupakan bukti diskriminasi. Padahal, bukti dan data ilmiah menunjukkan kerusakan dari luas perkebunan sawit jauh lebih kecil dari tanaman minyak nabati lain.
Sebelumnya, Kuasa Usaha Ad-Interim (Chargé d’Affaires/CDA) Uni Eropa (UE) untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Charles-Michel Geurts menyampaikan bahwa Uni Eropa menempati posisi nomor tiga pasar utama minyak sawit Indonesia. itu sebabnya, tidak ada hambatan dagang dan aturan yang mendiskriminasikan produk kelapa sawit. Dalam forum ini, ia mengeluhkan pemberitaan media di Indonesia bahwa Uni Eropa akan melarang penggunaan minyak sawit untuk biofuel pada 2023.
“Saya tantang anda untuk menunjukkan faktor atau fakta apa bahwa Eropa akan menghentikan (pemakaian) minyak sawit. Tidak ada pembatasan terhadap minyak sawit,” tegas Geurts di hadapan awak media.
Faktanya dikatakan Geurts bahwa impor minyak sawit Indonesia oleh Eropa tetap stabil berkisar 3,5 juta ton atau senilai 2,2 miliar euro per tahun. “Kami tetap stabil membeli minyak sawit dari Indonesia. Sekitar 50% untuk industri makanan maupun kosmetik. Lalu, 15% dipakai bagi biodiesel,” ujarnya.