Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan 2,6 juta hektare perkebunan sawit masih berada di kawasan hutan. Sebagian besar kebun petani di dalamnya. Supaya tidak kena sanksi, petani harus cepat mengurus status lahannya sampai 3 tahun mendatang. Ada usulan memasukkan sawit dalam kategori tanaman hutan.
Terbang dari Pekanbaru ke Jakarta. Gulat Manurung yang baru memperoleh kandidat Doktor Ilmu Lingkungan langsung menuju ke IPB University di Bogor. Bersama Rino Afrino, Sekjen DPP APKASINDO, mereka berdua berdiskusi dengan Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB Bogor, Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS pada akhir September 2021 .
Hasil pertemuan ini agak melegakan. Kedua belah pihak sepakat menandatangani naskah kerjasama untuk penyusunan naskah akademis sawit sebagai tanaman hutan.
Dr. Gulat Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO menjelaskan bahwa sampai sekarang penyelesaian masalah kebun sawit rakyat di kawasan hutan belum ada kejelasan. Memasuki delapan bulan berjalannya UU Cipta Kerja, penyelesaian 2,8 juta hektare kebun sawit petani di dalam kawasan hutan tersisa 28 bulan lagi.
“Dalam UU Cipta Kerja ini, penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan ini harus clear dalam 3 tahun,” ujar Gulat.
Seusai pertemuan, Dr. Naresworo Nugroho, mengapresiasi MoU dengan APKASINDO sebagai wadah organisasi petani sawit terbesar di Indonesia. Ada lima kajian yang akan menjadi fokus penyusunan naskah akademis. Pertama, mengidentifikasi, menganalisis dan membandingkan karakteristik biologi, ekologi dan aspek agronomi/silvikultur tanaman sawit dengan tanaman hutan.
Kedua, menganalisis dan memperkirakan luas dan sebaran lahan (kawasan hutan dan non-hutan) yang memiliki kesesuaian lahan untuk tanaman sawit secara produktif.
Ketiga, menduga dan membandingkan laju serapan/emisi CO2 dan Gas rumah kaca lainnya pada berbagai kelas umur tanaman sawit dengan tanaman hutan.
Keempat, menduga dan membandingkan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar pada berbagai kelas umur tanaman sawit dengan tipe tutupan hutan.
Kelima, membandingkan analisis ekonomi usaha perkebunan kelapa sawit dengan pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman.
“Kami bekerja sama untuk melaksanakan kajian ilmiah terkait sawit yang dilaksanakan oleh sebuah tim dari berbagai bidang keilmuan (multi disiplin),” jelasnya melalui layanan pesan WhatsApp kepada redaksi.
Penyusunan naskah akademik ini melalui berbagai tahapan antara lain studi literatur, studi regulasi, survei, FGD, uji laboratorium, studi banding, dan public hearing dan terakhir penyusunan buku hasil kajian akademis.
“Selain sawit, penyusunan naskah akademis ini pernah kami buat untuk komoditas lainnya seperti minyak atsiri (nilam, sereh wangi), kopi, bambu, buah-buahan, maupun agroforestry lainnya,” ujar Naresworo Nugroho.
Menurut Gulat hasil kajian akademis ini sangat fundamental dan diharapkan akan meng-counter mitos yang selama ini ditujukan kepada sawit.
Kerjasama antara Fakultas Kehutanan IPB University dengan DPP APKASINDO ini merupakan tindaklanjut dari MoU pada 2019 lalu yang ditandatangani oleh Ketua Umum DPP APKASINDO dengan Dr.Arif Satria, Rektor IPB di hadapan Ketua Dewan Pembina DPP APKASINDO, Jend TNI (Purn) Dr Moeldoko.
“Kajian penyusunan naskah akademik ini murni inisasi APKASINDO. Petani dari Sabang sampai Merauke gotong royong mengumpulkan dana untuk riset ini. Tentu butuh biaya apalagi untuk suatu kajian strategis ini,” ujar Gulat.
Menurutnya, petani sawit sangat memerlukan hasil kajian akademis ini. Karena regulasi sekarang ini belum menjawab sengkarut pengelolaan sawit rakyat yang diklaim masuk kawasan hutan. Akibatnya, rakyat paling dirugikan dengan konflik kebun sawit di kawasan hutan ini.
Salah satu data pendukung riset ini antara lain kelapa sawit dari aspek ekologi, ekonomi terutama aspek sosial sangat berkelanjutan dan memenuhi 17 kriteria SDGs dan sudah terbit di jurnal internasional. ”Kajian akademis ini bertujuan memperkuat UUCK dan sekaligus meringankan beban UUCK tadi,” tutur auditor ISPO ini.
Selain hasil kajian ini, ditegaskan Gulat, butuh kemauan politis kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat Indonesia untuk memasukkan sawit sebagai tanaman hutan sesuai dengan kriteria FAO.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 120)