Jakarta, SAWIT INDONESIA – Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dr. Gulat Manurung masih menyayangkan belum signifikannya kesejahteraan petani swadaya meski hilirisasi berjalan pesat. Padahal, dengan penerapan B20 hingga B35 yang saat ini sukses berjalan, tapi harga tandan buah segar (TBS) masih tidak sesuai harapan.
“Harga TBS dari Aceh sampai Papua, harganya 2.900, paling rendah di Papua, ini harga petani yang bermitra, dan ini tidak ditemui di lapangan, tidak satupun ” ujarnya dalam Special Dialogue CNBC, Kamis (6/6/2024).
Menurutnya, selama ini yang diutamakan perlindungannya adalah petani plasma yang bermitra dengan korporasi, berbeda dengan petani swadaya.
Padahal menurutnya multiplier effect di perkebunan, dengan petani swadaya di dalamnya, juga lebih besar dibandingkan korporasi.
“Kalau ada gonjang ganjing kelapa sawit petani yang terganggu ekonominya. Petani dan CPO adalah dua hal yang tidak terpisahkan,” kata dia.
Gulat mengatakan semakin rendah harga CPO maka harga TBS pun akan semakin anjlok. Alasan ini semakin menguatkan pentingnya peran bursa CPO agar harga bisa lebih stabil.
“Yang terjadi belum ada bursa CPO, harga TBS belum stabil, tetapi setelah berdiri dia di atas dari KPBN. Faktanya harus ada persaingan baru ada juaranya,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, komposisi pengelolaan sawit Indonesia saat ini 58 persen dikuasai swasta dan 42 persen petani.
“Paling pekerja perusahaan 500 ribu orang. Tapi kalau petani sawit bisa mencapai 40 juta orang. Mutlfflyer effect lebih besar ke petani sawit. makanya ketika ada gonjang-ganjing sawit, kami petani yang paling merasakan,” ungkap Gulat.