Tanpa pendanaan kuat, riset kelapa sawit di Indonesia tidak akan berkembang lebih baik. Salah satu penyebab kurang optimalnya kegiatan riset di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) karena minimnya pendanaan dari pemerintah.
“Pada 1989, ketika memimpin asosiasi penelitian dan pengembangan perkebunan saya merasakan betapa susahnya menghidupi pusat penelitian perkebunan. Penyebabnya, karena PTP (PT Perkebunan Negara) dan pemerintah makin sedikit berikan dana,” kata Hastjarjo Soemardjan, Mantan Kepala Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia.
Kala itu untuk mengatasi masalah pendanaan, kata Hastjarjo, dari AP3I meminta semua pusat penelitian di bawahnya menjalankan dua fungsi yaitu kegiatan penelitian dan mencari duit sendiri. Itu sebabnya, PPKS tidak sebatas menjual benih saja tetapi menyediakan pelayanan seperti survei tanah dan pengendalian hama penyakit.
“Kalau sekarang riset PPKS tidak berjalan optimal ya jangan dipersalahkan. Karena mereka harus menghidupi lembaganya. Karena dana dari pemerintah kurang,” ujar Hastjarjo.
Berikut ini gagasan dan usulan Hastjarjo Soemardjan mengenai riset dan memperkuat peranan PPKS di usianya yang ke-100 tahun dalam wawancara dengan SAWIT INDONESIA di rumahnya yang berlokasi di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan:
Bisa diceritakan awal perjalanan Bapak di PPKS dan AP3I?
Saya dulu masuk PPKS (waktu itu RISPA) sekitar tahun 1971-1977 di Medan lalu saya dipindahkan ke jakarta di bagian administrasi kementerian yang mengurusi bibit sampai tahun 1982. Sekitar tahun 1982 bekerja di Bandar Kuala untuk mengurusi penelitian kelapa. Waktu itu, keseluruhan penelitian perkebunan mengalami kemunduran bukan saja sawit tetapi kelapa, karet, teh, kina dan lainnya.
Pada 1989, saya kembali ke Jakarta karena perusahaan perkebunan negara merasa repot mengurusi penelitian. Lalu minta dibuatkan asosiasi penelitian perkebunan Indonesia (AP3I) dimana anggotanya puslit perkebunan yang mengurusi riset perkebunan kecuali puslit gula tidak mau gabung waktu itu. Pada 1989, AP3I ini mulai berjalan disitu saya merasakan betapa susah menghidupi pusat penelitian karena PTP (perusahaan perkebunan negara) dan pemerintah makin sedikit memberikan dana.
Lalu, apa yang bapak lakukan untuk mengatasi kondisi tersebut?
Kami di asosiasi meminta semua pusat penelitian jalankan kebijakan bermuka dua di mana tetap lakukan penelitian dan mencari duit. Memang masih ada dana dari pemerintah tetapi sedikit jumlahnya. Begitupula ada bantuan dari PTP namun tidak mencukupi. Makanya, kami menggerakkan puslit supaya menjual produk benih dan mengelola pelayanan.
Sebelumnya, PPKS dan Marihat ini sudah menjual bibit sawit dimulai sekitar tahun 1971 dan 1972. Tapi jualan itu hanya benih sawit saja. Karena tidak mencukupi juga dan maka dibuatlah jasa layanan dan analisis kepada perkebunan seperti survei tanah, rekomendasi pemupukan, dan pengendalian hama penyakit.
Pusat penelitian yang bagus menghasilkan pendapatan yaitu PPKS dan Marihat. Kemudian untuk membantu puslit yang kekurangan dana, kami minta PPKS mengirim dana kepada puslit lain seperti puslit teh dan puslit kakao kopi di Jember
Tapi, pemerintah dan PTP ini nakal dengan mengurangi dana. Kami berusaha minta tambah tetapi tidak diberikan. Sampai saya dengar beberapa tahun lalu dananya disetop dengan membangun perusahaan penelitian. Ya saya merasa sedih dan sakit hati.
Kenapa pak?
Kok lantas dananya disetop dan betul-betul 100% hidup sebagai PT, kalau dia bikin penelitian itu buat siapa ya buat dirinya sendiri. Tapi ya gimana saya sudah pensiun. Ketika masih sebagai direktur saya berontak karena direksi PTP menghargai saya maka dana masih diberikan. Tapi makin lama makin sedikit. Dan tidak ada yang berani berontak kepada direksi PTP dan pemerintah.
Sebagai pensiunan, saya tidak bisa lepas dari pemikiran dalam penelitian. Saya pernah menulis surat secara secara pribadi ditujukan kepada Kementerian Pertanian, Kementerian Riset, dan LIPI. Dalam surat saya katakan supaya pusat penelitian perkebunan ini dibiayai. Nanti kalau mereka cari duit sendiri tidak ada waktu untuk menjalankan penelitian. Surat tersebut sudah lama saya kirimkan sekitar tahun 2000-an. Saya ini pensiun pada 1998.
Seingat bapak berapa dana yang dibutuhkan puslit perkebunan termasuk PPKS dan pembiayaan dari pemerintah?
Nilainya saya tidak ingat pasti. Ya dari persentase, waktu itu dana yang diberikan sekitar 70% dari kebutuhan dan sisanya cari sendiri. Lalu makin berkurang menjadi sekitar 50 persen. Itu puslit mati-matian cari duit tinggal 50 persen digunakan untuk gaji dan penelitian. Awalnya, alokasi biaya penelitian cukup besar tapi lama kelamaan makin kecil dibandingkan gaji. Tentu nomor satu gaji dulu kalau tidak gimana mau kerja.
Memang pendanaan ini menjadi masalah klasik di lembaga riset kita?
Di keseluruhan lembaga riset pemerintah seperti LIPI kecil sekali. Di Indonesia, biaya riset itu sekitar 0,08% dari APBN. Bandignkan malaysia mencapai 1,5%, lalu singapura 2,1%. Memang idealnya itu 2,5%. Sementara kita, 0,08% itu berapa ratus kali dibandingkan negara lain.
(Lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Februari – 15 Maret 2016)