Indonesia berhasil mempertahankan parakuat supaya tidak masuk Annex III dalam pertemuan kesembilan COP’s pada 29 April-10 Mei di Jenewa. Capaian ini berkat studi ilmiah mengenai dampak penggunaan parakuat terhadap manusia dan lingkungan.
Muhrizal Sarwan, Direktur Pestisida Kementerian Pertanian RI, menceritakan secara runut hasil kegiatannya saat menghadiri pertemuan kesembilan Konferensi Para Pihak (COP) Konvensi Basel, Konvensi Stockholm dan Konvensi Rotterdam pada 29 April-10 Mei 2019. “Saya ikut hadir dalam Konvensi Rotterdam. Di dalamnya, ada pembahasan beberapa pestisida yang di-listing masuk annex III. Apabila masuk listing perul notifikasi untuk kegiatan ekspor impor,” ujarnya.
Muhrizal menyebutkan beberapa pestisida yang diusulkan masuk annex III antara lain Acetochlor,Formulasi paraquat dichloride 276 g/l, Carbosulfan, dan Formulasi fenthion. Saat intervensi awal pada 8 Mei, pihak Indonesiadan Guatemala menolak parakuat masuk annex III. “Setelah itu, Presiden Konvensi Rotterdam menyarankan konsultasi informasi,” ujarnya.
Terjadi perubahan sikap Guatemala pada 10 Mei, diceritakan Muhrizal, Guatemala bersedia menerima listing annex III. Tetapi Indonesia tetap menyampaikan penolakannya. Selanjutnya, delegasi Indonesia menjelaskan menyiapkan roadmap sebelum COP-10 tahun 2021, bahwa Indonesia akan memiliki high possibility untuk menerima listing Annex III.
Kemampuan delegasi menyampaikan argumen didukung fakta ilmiah dari riset para peneliti.
Sebut saja riset Prof.Dr.Dadang,MSc, Dosen IPB, menunjukkan fakta melalui penelitian di tiga tanaman: padi, jagung, dan sawit. Hasilnya, aplikasi herbisida parakuat diklorida di pertanaman kelapa sawit dan jagung serta pada pengolahan lahan pertanaman padi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada arthropoda tanah baik pengambilan sampel tanah maupun dengan perangkap jebakan, demikian juga terhadap mikroba tanah. Pada awalnya secara umum terjadi penurunan rata-rata jumlah arthropoda namun seiring waktu populasi arthropoda kembali menunjukkan kenaikan.
Dari aspek kesehatan, terdapat penelitian Prof.Dr. M Firdaus merupakan kerjasama antara Institut Pertanian Bogor, LPPM IPB, dan Kementerian Pertanian. Hasil penelitian yang berlangsung Mei sampai Oktober 2018 ini adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh penggunaan pestisida rendah relatif rendah. Sekitar 3,04% (23 orang) pernah mengalami gangguan kesehatan karena pestisida berbahan aktif parakuat dan 6,48% (49 orang) mengalami keracunan yang disebabkan oleh pestisida non-parakuat.
Menjelang waktu berakhirnya Konvensi, negara lain yaitu Chili sepakat dengan Indonesia. Chili menyampaikan penolakan listing parakuat dichloride ke dalam Annex III. “Saat terakhir inilah, terdapat dua negara yang memberikan penolakan yaitu Indonesia dan Chili,” jelas Muhrizal.
Diceritakan Muhrizal, akhirnya presiden Konvensi Rotterdam memutuskan pembahasan listing formulasi paraquat dichloride 276 g/l ditunda sampai COP-10 pada 2021 di Nairobi, Kenya.
Hasil konvensi ini disambut baik sejumlah pihak terutama pelaku usaha pestisida. Salah satunya dari Aliansi Stewardship Herbisida Terpadu (Alishter). Alishter berdiri pada 8 Juli 2015 di Jakarta yang beranggotakan produsen/pemegang pendaftaran dan distributor herbisida terbatas. Mulyadi Benteng, Direktur Eksekutif Alishter memaparkan hasil COP-9 akan berdampak baik terhadap pengendalian gulma. Karena selama ini, kita kesulitan mengendalikan gulma menggunakan herbisida yang cocok dan ekonomis. Delegasi RI berhasil menolak parakuat masuk Annex III Totterdam Convention karena Indonesia punya data studi & survai dampak penggunaan parakuat terhadap manusia dan lingkungan.
“Tahun 2018, Kementerian Pertanian membentuk tim survei dan studi terdiri dari Kementerian terkait, Tim Teknis Komisi Pestisida dan perguruan tinggi. Khusus studi ini dilaksanakan oleh IPB, ITB, UNPAD, UGM. Hasil dari survai dan studi menunjukkan bahwa parakuat tidak berdampak negatif signifikan terhadap manusia serta lingkungan sepanjang digunakan sesuai izin dan rekomendasi penggunaannya.” paparnya.