JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Petani sawit mengeluhkan tingginya harga pupuk non subsidi yang beredar di pasaran selama delapan bulan terakhir. Tingginya harganya pupuk ini membuat petani kelimpungan terutama peserta Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Alokasi biaya pemupukan mencapai 40%-60% dari total biaya pemeliharaan sawit.
“Petani di sentra sawit bertanya-tanya tingginya harga pupuk sudah 8 bulan terakhir. Kenaikan terjadi merata baik pupuk produksi BUMN dan swasta,” ujar Dr. Gulat ME Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP APKASINDO, dalam perbincangan melalui telepon dari Balikpapan, Selasa (12 Oktober 2021).
Di Sumatera Utara, harga pupuk NPK telah mencapai Rp 11.000/kg atau sekitar Rp 550 ribu per sak. Selain harganya mahal, ketersediaan pupuk juga langka di lapangan. Petani kesulitan mendapatkan pupuk di toko maupun kios pupuk. Gulat mengatakan laporan dari petani sawit APKASINDO di 22 provinsi. Kenaikan harga pupuk ini merata baik NPK dan pupuk tunggal. Kalau harga pupuk tidak terkendali, biaya produksi dipastikan semakin tak terkendali juga.
Sebagai informasi, keluhan tingginya harga pupuk merata di semua daerah Indonesia. Semua petani baik sawit dan non sawit memiliki keluhan sama. Harga pupuk tinggi dan susah diperoleh baik subsidi dan non subsidi.
Di tengah, harga TBS sawit yang sedang tinggi. Kenaikan harga pupuk ini juga berdampak kepada perawatan tanaman. Gulat menjelaskan keuntungan petani semakin terpangkas bahkan mengarah minus. Saat ini harga TBS sawit sedang tinggi, kondisi ini merangsang petani untuk memupuk. Apabila petani enggan memupuk karena harganya mahal. Imbasnya hasil panen kebun petani bisa turun dalam satu-dua tahun ke depan.
Menurutnya, program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang sedang berjalan dapat terganggu tingginya harga pupuk. Sebab, dana hibah PSR sebesar Rp 30 juta/hektare sudah terkunci dengan RAB yang digunakan untuk mendukung kegiatan pembangunan kebun dari P0-P1. Tingginya harga pupuk ini dipastikan tidak akan cukup ditutupi dari dana PSR dan ini akan mengacaukan target PSR program strategis Presiden Jokowi.
“Kalau harga pupuk masih seperti sekarang. Kegiatan PSR akan sia-sia karena fokusnya intensifikasi dan kenaikan produktivitas. Pupuk menjadi bagian penting dari intensifikasi,” ujarnya.
Gulat mendapatkan laporan banyak petani ragu-ragu untuk melanjutkan proses pengajuan PSR. Setelah mengetahui tren kenaikan harga pupuk sekarang ini dan tidak mau disalahkan kelak. Kenaikan harga pupuk yang melampui 100% membuat biaya PSR ikut melonjak.
“Untuk menutupi kekurangan dana PSR, petani ini banyak mengajukan pinjaman ke bank dan KUR. Kalau harga pupuk melonjak dari kalkulasi awal kebutuhan biaya PSR. Petani juga kena dampaknya. Karen PSR ini mengejar produktivitas,” ujar auditor ISPO ini.
Sebagai ilustrasi, kebutuhan dana PSR rerata Rp 55 juta per ha dari P0-P3. Dari jumlah tersebut, alokasi biaya pemupukan sebesar Rp 19,7 juta atau sekitar 35,9%. Komponen pupuk yang digunakan adalah dolomit, borate, RP, Urea, dan MOP. Biaya ini juga telah memperhitungkan upah jasa pemupukan.
“Petani peserta PSR bakalan kesulitan untuk menyesuaikan dengan harga pupuk sekarang. Komponen biaya pupuk dalam rencana biaya PSR masih memakai harga normal,” ujar Gulat.
Di Kalimantan Barat, Indra Rustandi, Ketua DPW APKASINDO Kalimantan Barat, menceritakan kenaikan harga pupuk sangat signifikan dari pabrik sampai 40 %. Di bulan Juli, harga pupuk non subsidi seperti pupuk pelangi PKT di tingkat pengecer sekitar Rp 400.000/per sak. Lalu masuk Agustus, harganya merangkak naik menjadi Rp 480.000-Rp. 500.000/per sak.
“Memang berat tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa karena yang menaikkan harga dari pihak Pupuk Indonesia (red-Holding BUMN Pupuk). Paling kasian petani yang ikut PSR. Anggaran biayanya memakai harga lama. Paling solusinya dosis dikurangi,” ujar Indra.
Tren kenaikan harga pupuk ini mulai beranjak dari Maret 2021 untuk pupuk tunggal seperti KCL naik 85%-120%. Sementara itu, pupuk majemuk NPK terjadi kenaikan 60%-100%.
Gulat meminta pemerintah dan Komisi IV DPR RI dapat segera turun tangan untuk membantu kendalikan harga pupuk non subdisi khususnya kepada petani sawit. Sebab, petani sawit tidak pernah berdoa mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi. Dalam arti, harus berjuang dengan ongkos biaya produksi sendiri untuk memperoleh pupuk berkualitas bagus.
“Harusnya produsen pupuk plat merah (BUMN) tidak ikut-ikutan mengambil untung berlebih, harusnya menjadi benteng penyeimbang harga,” jelas Gulat.
Ia mengatakan tingginya harga TBS sebenarnya momentum bagi petani untuk meningkatkan produktivitas melalui pemupukan dan investasi bidang lain. Tetapi kalau harga pupuk naik dari batas kewajaran, petani bisa mengurangi dosis pupuk untuk menyiasati biaya produksi.
“Kalau harga pupuk terus meroket. Ya, petani akan kesulitan untuk memupuk dan belanja sebagaimana keinginan Ibu Menkeu,” tegasnya.