Sebagai program nasional, PeremajaanSawit Rakyat (PSR) menghadapi tantangan untuk dapat bergerak cepat. Pola kemitraan antara perusahaan dengan petani dapat menjadi solusi mengatasi sejumlah tantangan PSR.
Pemerintah Sumatera Utara mencatat akselerasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menghadapi banyak persoalan antara lain kebun petani terindikasi dalam kawasan hutan. Pada hal, tujuan program ini sangat baik bagi pemulihan ekonomi nasional dan meningkatkan produktivitas kelapa sawit.
“Di Sumut, realisasi rekomendasi teknis seluas 20.253 hektare yang tersebar di 15 kabupaten. Dari jumlah tadi, dana diterima petani mencapai Rp 360,52 miliar,” ujar Edy Rahmayadi, Gubernur Sumatera Utara saat membuka IPOS (Indonesian Palm Oil Stakeholders) Forum ke-6 bertemakan “Keberhasilan PSR dan Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Nasional Melalui Kepastian HukumHak Atas Tanah”, Rabu (25 Agustus 2021).
Dijelaskan Edy bahwa PSR merupakan program pemulihan ekonomi nasional bertujuan meningkatkn produksi dan produktivitas kelapa sawit dengan memberikan bantuan hibah sebesar Rp 30 juta/ha. Setiap keluarga petani berkesempatan meremajakan kebun sawitnya maksimal 4 hektare atau sebesar Rp 120 juta.
Edy Rahmayadi mengakui program PSR di Sumut banyak menghadapi kendala yang perlu diselesaikan segera. Masalah tersebut antara lain petani kesulitan melengkapi persyaratan administrasi seperti pemetaan. Selanjutnya, kebun petani terindikasi masuk kawasan hutan sehingga berdampak kepada alas hak, pengurusan biaya sertifikat lahan mahal, dan kurangnya pemahaman petani berkaitan dana hibah PSR.
“Sebagai langkah awal menata sawit berkelanjutan di Sumut telah dibentuk Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Foksbi) sebagai forum dialog multi pihak dalam rangka mendukung kelapa sawit berkelanjutan” urai mantan Pangkostrad ini.
PeremajaanSawit Rakyat (PSR) menjadi salah satu instrumen untuk memperbaiki perekonomian nasional dan kesejahteraan petani sawit. Banyak hambatan di lapangan dari segi regulasi dan tata kelola terutama masalah kawasan hutan. Akibatnya, target Presiden Joko Widodo untuk mencapai 540 ribu hektare peremajaan kelapa sawit bisa terancam gagal.
Data per 24 Juni 2021, realisasi lahan PSR yang telah tertanam seluas 114.657 Ha sepanjang 2017-2021. Keinginan mempercepat realisasi PSR terganjal regulasi di sektor kehutanan sehingga mempersulit petani untuk mendapatkan kejelasan status lahan.
Dalam presentasinya di IPOS Forum ke-6, Dr. Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian RI, menjelaskan bahwa program peremajaan sawit rakyat terdapat beberapa tantangan salah satunya adalah permasalahan lahan.
Tercatat, ada lima masalah yang dihadapi yaitu pekebun dan lahan perkebunan belum memenuhi syarat (clean and clear), lahan tidak dalam satu kawasan (hamparan), indikasi lahan dalam kawasan hutan, indikasi lahan tumpang tindih dengan lahan pihak lainnya, dan ada kekhawatiran dari petani lantaran adanya tindakan aparat penegak hukum yang melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan penyimpangan pelaksaan program PSR.
Merujuk data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Terdapat lahan pekebun yang terindikasi berada pada kawasan hutan, tumpang tindih, dan beririsan pada lahan yang penerima dana program PSR. Total luasan lahan petani yang terindikasi persoalan lahan mencapai 753,98 hektare.
Musdhalifah menjelaskan lahan petani penerima dana PSR yang terindikasi di kawasan hutan. Maka, memerlukan dukungan penyelesaian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dukungan serupa dibutuhkan dari Kementerian ATR/BPN dalam penyelesaian sertifikasi lahan sawit yang telah mendapatkan dana Peremajaan Sawit Rakyat.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 119)