Pemerintah mengajak pelaku usaha dan buruh sawit untuk bersama-sama melaksanakan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11/2020 dan peraturan pelaksananya. Beleid ini meningkatkan daya saing tenaga kerja dan meningkatkan kualitas perlindungan terhadap pekerja termasuk di sektor kelapa sawit.
“Kampanye negatif sawit di sektor tenaga kerja sangat merugikan semua pihak. Tanpa penanganan yang baik, kampanye tadi bisa merusak kontribusi sawit terhadap negara. Pada hal, peranan sawit telah terbukti menyerap 16 juta tenaga kerja,” ujar Haiyani Rumondang, Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenaga kerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenaga kerjaan RI.
Pernyataan ini diungkapkannya dalam dialog webinar bertemakan “Bedah UU Cipta Kerja Bagi Sawit Borneo Berkelanjutan”, Kamis (6 Mei 2021) yang diselenggarakan oleh Majalah Sawit Indonesia dan Borneo Forum.
Iaber pendapat UU Cipta Kerja harus dipandang positif karena memperbaiki, menyempurnakan, dan melindungi pihak pengusaha maupun pekerja. Sebab, UU Cipta Kerja menjawab masalah upah rendah, jam kerja panjang, perlindungan hak pekerja, buruh kerja harian lepas, perjanjian kerja waktu tertentu, mencegah pekerja anak, dan melindungi pekerja perempuan dari tindakan kekerasan. Seluruh persoalan tersebut kerap kali diangkat untuk menyerang sawit.
Industri sawit menopang perekonomian Indonesia. Walaupun, industri ini menghadapi bayak tantangan. “Kita harus bersama-sama melakukan komitmen bahwa pandangan-pandangan negatif dari luar itu harus kita tentang, sehingga industri sawit ini bisa terus bangkit menopang perekomian,” ujar Haiyani.
Menurutnya, isu-isu negatif yang dimunculkan terkait kelapa sawit mengenai perlindungan tenaga kerja sudah kami terima. Ada, pihak-pihak yang tidak memberikan fakta mendasar.
Terbitnya, UUCipta Kerja Nomor 11/2020 merupakan terobosan hukum dalam rangka penciptaan lapangan kerja yang seluas-luasnya, meningkatkan daya saing tenaga kerja indonesia juga sekaligus menciptakan ekosistem ketenaga kerjaan adaptif dalam upaya peningkatan kualitas perlindungan terhadap pekerja.
“Jadi UU Cipta Kerja ini mempertimbangkan betapa pentingnya kesejahteraan pekerja. Namun juga mempengaruhi kelangsungan usaha. Itulah bagian klaster tenaga kerja yang berkaitan dengan klaster lainya,” ungkapnya.
Eksistensi UU Tenaga Kerja semakin dibutuhkan utamanya juga kita mengalami dampak Covid dan mengisi pemulihan ekonomi nasional. UU Cipta Kerja terdapat 11 klaster untuk mereformasi strukural dan mempercepat transformasi ekonomi.
Di samping itu, kenaikan angkatan kerja setiap tahun sekitar 2 juta hingga 3 juta orang. Tentu membutuhkan lapangan kerja. Sementara itu, sektor sawit dapat menampung tenaga kerja sekitar 16 juta orang.
Berdasarkan data BPS penduduk usia kerja mencapai 205,3 juta jiwa, sekitar 9,3 persen penduduk usia kerja tersebut terdampak Covid-19. Dengan beberapa kategori yakni sementara tidak bekerja karena Covid atau pengangguran.
Pemerintah mendorong penciptaan lapangan kerja khususnya di sektor sawit yang banyak menyerap tenaga kerja. Pemerintah juga mengambil langkah yang tepat dalam peningkatan kesejahteraan pekerja dan masyarakat pada umumnya. Sebagai penyumbang terbesar terhadap PDB baik sektor pertanian, kehutanan, perikana dan kelapa sawit ini memberikan kontribusi signifikan dalam penciptaan lapangan kerja.
“Tentu, pemerintah mampu memberikan kepastian dan kemudahan berusaha serta iklim investasi kondusif. Namun juga tidak meninggalkan unsur perlindungan pekerja,” paparnya.
Terbitnya UU Cipta Kerjaakan menyelesaikan tumpeng tindih regulasi. Selanjutnya, regulasi akan disederhan akan termasuk dibidang ketenaga kerjaan. Menurutnya, UU Cipta Kerja bertujuan memperbaiki iklim investasi dan daya saing tenaga kerja dan menciptakan ekosistem tenaga kerja yang adaptif.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 115)