Perkebunan sawit menjadi bagian gerakan global untuk menjaga lingkungan dan ekosistem dunia. Mulai dari sosialisasi kurangi sampah plastik, aplikasi pupuk organik, pembukaan lahan tanpa bakar, dan konservasi tanaman. Tetapi, kenapa sawit terus diserang kampanye hitam dan terkena hambatan dagang?
Tren pertanian ramah lingkungan mulai menyebar ke wilayah di luar Jawa. Sebuah desa terpencil di Kapuas Hulu yang berjarak sekitar 1.957 kilometer dari Jakarta, belajar menerapkan pertanian organik. Ada 32 kepala keluarga tergabung dalam Kelompok Tani Mitra Lemedak menerapkan pertanian organik dan tanpa bakar semenjak dua tahun terakhir. Anggota Kelompok Tani adalah penduduk Desa Nanga Lemedak, Kecamatan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sulitnya akses informasi tidak menyurutkan semangat mereka untuk bertani ramah lingkungan.
“Masyarakat ingin belajar pertanian yang benar. Cara menerapakan teknik mengolah tanah dan pupuk untuk menjadi pupuk organik. Kami juga mengurangi praktik buka lahan dengan bakar,” kata Yohanes Ramli Ketua Kelompok Tani Mitra Jaya Lemedak.
Bersama media online lainnya, jurnalis SAWIT INDONESIA mengunjungi tempat pengolahan pupuk organik Kelompok Tani Mitra Lemedak pada Selasa sore, 8 Agustus 2019. Di atas lahan berukuran 4×6 meter terdapat bangunan yang berisi mesin pencacah dan tempat penyimpanan kompos. Saat ditemui wartawan, Yohanes bersama anggota lainnya baru selesai mengadakan pelatihan pembuatan pupuk organik.
Yohanes Ramli mengatakan pupuk organik yang dihasilkan berasal dari sisa tanaman yang sudah tidak dimanfaatkan. Sebagai contoh, ada bahan baku dari akar resam, batang pisang, daunan, serbuk kayu, dan sekam padi. Selanjutnya, limbah tersebut diolah memakai mesin pencacah kompos.“Mesin ini bantuan dana desa dari pemerintah,” kata Yohanes.
Dalam satu jam, mesin pencacah dapat menghasilkan 500 kilogram kompos. Setelah itu, kompos akan dibawa anggota untuk proses fermentasi pupuk di lahan masing-masing. Setiap anggota membawa kompos sesuai kebutuhan. Fransiskus Nyanggar, Anggota Kelompok Tani Mekar Jaya Lemedak, mengakui setahun setelah kompos diaplikasikan di lahan mampu meningkatkan produktivitas tanaman. Sebelum pupuk organik digunakan, produksi gabah kering panen antara 1-2 ton per musim tanam. Setelah aplikasi pupuk organik, hasil panen naik signifikan. Petani memperoleh produksi gabah di atas 3 ton, bahkan ada yang mencapai hingga 6 ton.
“Lahan kami sekarang pakai pupuk organik sepenuhnya, tidak ada (pupuk) kimia sama sekali. Semua ini dilakukan setelah mengikuti pelatihan. Produksi tinggi karena menggunakan organik dan perawatan rutin seperti mengawasi hama wereng,” jelas Fransiskus.
Selain pembuatan pupuk organik, petani mendapatkan edukasi supaya tidak membakar lahan untuk membuka ladang. Sinuria, Kepala Desa Nanga Lemendak, menuturkan warga desanya sebagian besar petani plasma sawit sebagai mitra PT Paramitra Internusa Pratama, anak usaha PT Sinarmas Agro Resources Technology Tbk. Selain sawit, penghasilan warga bersumber dari tanam padi, sayuran, dan buah.
Dikatakan Sinuria kegiatan buka ladang dengan membakar lahan berlangsung semenjak lama. Biasanya dibuat sekat bakar di lahan yang akan dibuka petani. Teknik sekat berfungsi mencegah api merembet ke lahan lain. Kalau api lompat ke lahan orang lain, maka denda adat akan dijatuhkan kepada pihak yang membakar.
“Tapi, jangan tuduh bakar hutan. Karena lahan yang dibakar untuk ladang, kebutuhan kami. Karena ada tuduhan orang Dayak bikin asap. Perlu diluruskan, kami (orang Dayak) pakai sekat bakar. Terkadang, faktor alam inilah yang sulit untuk dihindari,” kata pria berusia 35 tahun ini.
Agustinus Nainggolan, Koordinator Sustainability Region Semitau Sinarmas Agribusiness PT Sinarmas Agro Resources Technology Tbk, menyebutkan tantangan terberat dari kebiasan masyarakat setempat yang membuka lahan dengan bakar. Akan tetapi, perusahaan tetap mengawasi titik panas dan potensi kebakaran di wilayah sekitar perkebunan. Perusahaaan menyiapkan fasilitas pemadaman kebakaran seperti pompa air, tanki air, pakaian petugas pemadam, dan kendaraan pemadam.
“Kami terus sosialisasi kepada warga supaya tidak bakar lahan. Selain itu, kantor pusat juga mengawasi titik panas (hotspot) di kebun dan area sekitar melalui satelit,” kata Agustinus.
Supaya masyarakat tidak lagi bakar lahan, Sinuria berdialog dengan sejumlah pihak termasuk PT Paramitra Internusa Pratama. Perusahaan menyambut baik permintaan Sinuria untuk mencegah munculnya asap di wilayah Semitau khususnya Kapuas Hulu. Inisiatif bersama ini melahirkan program Sekolah Pertanian Terpadu pada 2018. Melalui program ini, warga Desa Nanga Lemedak diajak bergabung bersama Kelompok Tani Mitra Jaya Lemedak untuk memperoleh pelatihan pembuatan pupuk organik dan buka lahan tanpa bakar. Dukungan dari perusahaan berupa dukungan teknis dan menyediakan petani pendamping bagi kelompok tani. Petani pendamping ini bertugas memberikan pelatihan dan teknik bertani ramah lingkungan tanpa bakar lahan.
Menurut Sinuria, program ini bertujuan memperbaiki cara pertanian yang dijalankan selama ini terutama buka lahan dengan bakar. Awalnya dari 217 warga, saat program diumumkan hanya 25 warga yang bergabung.“Dari semula, kami paham program ini butuh waktu untuk membuat warga tertarik. Mulanya tidak semua warga mau jadi kelompok tani. Ya, tujuan awal ingin memberikan wawasan dulu. Sekarang ini, sudah naik menjadi 32 warga yang bergabung dengan kelompok tani. Artinya sudah ada kemajuan,” jelas Sinuria.
Jaya Purba, Petani Pendamping Kelompok Tani Mitra Lemedak, menjelaskan Sekolah Pertanian mengajarkan petani supaya tidak lagi membakar lahan. Sebelum tahun 2018, kebakaran sering terjadi di desa Nanga Lemedak. Lantaran, masyarakat memilih cara bakar saat buka ladang. Berjalannya Sekolah Pertanian mengurangi kebakaran semenjak setahun terakhir. Masyarakat mulai sadar pentingnya menjaga lahan dari kebakaran. Dari bertani organik, masyarakat memperoleh manfaat ekonomi. Pupuk tidak perlu lagi beli karena telah menghasilkan pupuk organik sendiri.
Susanto Yang, CEO Sinar Mas Agribusiness and Food Wilayah Kalimantan Barat, dalam kesempatan terpisah, menjelaskan bahwa Program Pertanian Ekologi Terpadu (PET) bekerjasama dengan kelompok tani di desa sekitar perkebunan perusahaan. Program ini menitiberatkan pencegahan pembukaan lahan pertanian dengan cara bakar. Selain itu, masyarakat diajarkan bisa mandiri dengan hasil pertanian. Komoditas yang ditanam bermacam-macam antara lain sayuran, padi, dan jagung.
Program Ekologis Terpadu mulai dilaksanakan sejak 2016 merupakan program pemberdayaan masyarakat secara partisipatif sehingga masyarakat memiliki kemampuan dalam mencegah dan mengatasi Karhutla serta mencapai ketahanan pangan dengan cara yang lebih ramah lingkungan melalui Pertanian Ekologis Terpadu (PET). “Masyarakat tidak perlu membakar lahan dalam mengelola tanah. Kami berikan solusi melalui pertanian ekologis terpadu. Saat ini, perusahaan memberikan pendampingan kepada 32 desa di Sumatera dan Kalimantan,”pungkasnya.
Mengurangi limbah
Setiap pagi jam 05.30 WIB, pekerja dan staf kebun PT Paramitra Internusa Pratama mulai dari mandor, tenaga perawat tanaman, dan tenaga pemanen buah sawit mendapatkan sosialisasi terkait kebijakan Sosial dan Lingkungan atau dikenal Golden Agri Social and Enviromental Policy (Policy). Tiap apel pagi, mereka ditugaskan mengambil sampah plastik dan rumput liar yang selanjutnya akan dikumpulkan dalam satu tempat khusus. Nantinya, limbah plastik ini akan diolah menjadi pupuk dan kerajinan tangan seperti tas.
Sedangkan,rumput liar diolah menjadi pupuk kompos. Perusahaan menyediakan tempat pengolahan kompos yang berukuran sekitar 4×6 meter. Nantinya, pupuk ini akan dimanfaatkan staf dan masyarakat setempat untuk tanamannya.
Manager Region Semitau Sinarmas Agri Wilayah Kalimantan Barat, Herman Teguh menyebutkan setiap pagi, pekerja kebun diminta membawa sampah plastik dan rumput liar. Sampah plastik diambil dari staf yang tinggal di dalam kebun untuk dikumpulkan yang selanjutnya diolah menjadi kerajinan tangan. Plastik menjadi persoalan bagi PT Paramitra Internusa Pratama dan dua perusahaan lain yang berada di bawah Region Semitau.
Region Semitau Sinarmas Agri wilayah Kalimantan Barat menaungi tiga perusahaan yaitu PT Paramitra Internusa Pratama, PT Kartika Prima Cipta, dan PT Persada Graha Mandiri. Total luas perkebunan yang dikelola Region Semitau 17.363 Hektar. Terdiri dari PT Paramitra Internusa Pratama seluas 13.173 Ha, PT Kartika Prima Cipta seluas 4.366 Ha, dan PT Persada Graha Mandiri seluas 12.844 Ha.
Jumlah karyawan Region Semitau mencapai 4.092 pekerja. Komposisi pekerja yaitu pekerja masyarakat lokal berjumlah 1.808 orang dan pendatang sebanyak 2.284 orang. Dengan jumlah pekerja sebesar ini, dikatakan Herman, perusahaan sangat memperhatikan limbah plastik yang dihasilkan setiap harinya di perkebunan sawit. Itu sebabnya, sosialisasi menjadi penting untuk mengurangi pemakaian plastik di kebun.
Di areal sawit, perusahaan juga mengolah limbah cair sawit dan limbah padat berupa tandan kosong buah sawit untuk dijadikan pupuk organik. Asep Jajuli mengatakan tandan kosong buah didistribusikan melalui cara mekanis (traktor) dan manual. Satu pohon mendapatkan 442 kilogram tandan kosong buah. Aplikasi limbah janjang kosong telah dimulai semenjak 2013.
“Saat ini di Belian Estate (PT PIP), tandan kosong telah menggantikan aplikasi pupuk kimia di lahan seluas 400 hektare lahan sawit. Per hektare, biaya pupuk sekitar 6 juta rupiah. Ini berarti, pemakaian pupuk organik menghemat 2,4 miliar rupiah dalam setahun,” ujar Asep.
Tidak hanya pupuk dari tandan kosong buah sawit. Perusahaan juga menjadikan limbah cair sebagai pupuk organik. Limbah cair berasal dari sisa proses pembuatan minyak kelapa sawit berbentuk cair yang disebut Palm Oil Mills Effluent (POME). Asep mengatakan aplikasi limbah cair di Belian Estate baru 152 hektare. Aplikasi limbah diberikan sebanyak tiga kali rotasi dalam setahun. Satu kali rotasi, limbah yang didistribusikan sebanyak 125 ton per hektare per tahun. Total setahun, kebun mendapatkan 375 ton limbah cair sawit. Limbah cair ditampung dalam beberapa kolam di kebun sehingga akar tanaman dapat menyerap unsur hara limbah.
“Pemberian aplikasi limbah cair harus mendapatkan izin Dinas Lingkungan Hidup kabupaten dan provinsi. Limbah boleh dialirkan ke kebun, asalkan Biological Oxygen Demand (BOD) di bawah 5.000 mg per liter,” kata Asep.
Asep mengatakan aplikasi limbah cair ini bertujuan menggantikan pupuk organik karena limbah ini mempunyai kandungan hara yang dibutuhkan tanaman. Unsur hara dalam limbah cair ini antara lain urea, kalium, dan magnesium. Tanaman di kebun aplikasi limbah cair mempunyai produktivitas sangat tinggi sampai 30 ton TBS (Tandan Buah Sawit) per hektare per tahun. Sedangkan, kebun tanpa aplikasi hanya menghasilkan 22-34 ton TBS per hektare per tahun.
Konservasi Bunga Kantung Semar
PT Paramitra Internusa Pratama memiliki areal konservasi bunga kantung semar yang menjadi kebijakan bernilai konservasi tinggi. Suprianus Triputra, Staf Sustainability PT Paramitra Internusa Pratama menjelaskan areal konservasi ini melindungi bunga kantung semar atau nepenthes. Di areal konservasi seluas 0,4 hektar terdapat 7 jenis nepenthes antara lain mirabilis, ampullaria, bicalcarata, gracilis, alata, rafflesiana, dan stenofila. Konservasi ini sejalan dengan aturan pemerintah yaitu Keputusan Presiden Nomor 32/1990 mengenai Pengelolaan Kawasan Lindung.
“Tujuan konservasi melindungi tanaman yang hampir punah. Jadi tanaman dilindungi, dirawat, dan dijaga sehingga keberadaan mereka tidak punah,” jelas Suprianus .
Areal ini sejalan dengan Kebijakan Perusahaan untuk menjaga areal Nilai Konservasi Tinggi. Sejak awal 2011, Sinarmas Agri berkomitmen untuk melindungi hutan-hutan dan kawasan bernilai konservasi tinggi. hingga sekarang, perusahaan telah mengidentifikasi lahan seluas 8.738 hektar yang saat ini disisihkan untuk konservasi.
Suprianus menjelaskan bahwa PT PIP memilih areal konservasi seluas 0,4 hektare ini karena semenjak awal banyak ditemukan nepenthes. Hingga sekarang, jumlah 7 spesies nepenthes tidak berkurang. Dari titik persebaran di areal konservasi, spesies bicalcarata paling banyak di 20 titik. Sementara sebaran rafflesiana dan stenofila berada di antara 3-5 titik, terutama areal yang pencahayaan sinar matahari tinggi.
Kehadiran areal konservasi ini digunakan sebagai tempat edukasi bagi masyarakat dan siswa sekolah di sekitar kebun.“Di kebun, siswa sekolah dasar Eka Tjipta Belian Estate rutin mengunjungi konservasi nepenthes. Mereka dikenalkan jenis tanaman dan mencintai lingkungan,” ujarnya.
Kesadaran perusahaan sawit menjaga areal konservasi sejalan dengan kebijakan Indonesian Palm Oil Sustainable (ISPO). Azis Hidayat, Kepala Sekretariat Komisi ISPO menjelaskan bahwa sertifikasi ISPO merujuk kepada 16 perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Salah satu prinsip ISPO adalah melindungi spesies terancam punah, area perkebunan harus memperhatikan spesies tersebut dan menemukan alasan mereka terancam punah.
“ISPO dapat menjadi indikator perusahaan menjalankan tata kelola sawit berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan,” jelas Azis.
Pelaksanaan ISPO merupakan upaya pemerintah untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s). Dari 17 prinsip SDG’s, ISPO mampu memenuhi 12 prinsip. Ketujuh belas prinsip tadi adalah no poverty, zero hunger good health and well being, work and economic growth, industry, innovation, infrastructure, reducing inequality, responsible consumption and production, climate action, life on land, dan partnership for the goals.
Walaupun, perkebunan sawit telah menunjukkan keberpihak kepada lingkungan. Tetap saja kampanye hitam terus berjalan. Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), menuturkan kelapa sawit tetap diserang dari segala penjuru karena lebih unggul dari minyak nabati lain. Dari aspek produktivitas, minyak sawit lebih tinggi 8-10 kali lipat dari minyak nabati lain seperti minyak kedelai dan minyak bunga matahari yang dihasilkan negara-negara Uni Eropa maupun Amerika Serikat.
Begitupula dari aspek harga, minyak sawit lebih murah antara US$ 70-US$ 100 per ton. Dikatakan Paulus, harga minyak sawit lebih terjangkau karena produktivitas yang tinggi, bukan disebabkan kebijakan subsidi. Berdasarkan penggunaan lahan, perkebunan sawit juga lebih efisien. Total perkebunan sawit di seluruh dunia sekira 20,23 juta hektar yang menghasilkan 64,8 juta ton. Bandingkan dengan luasan tanaman kedelai 121 juta hektare yang hanya memproduksi 53,46 juta ton.
“Sawit ini lebih efektif dan efisien dari minyak nabati lain. Kita lebih unggul termasuk dari harga,” jelas Paulus.
Bagi pelaku industri, kampanye hitam dan tekanan dagang yang ditujukan kepada kelapa sawit merupakan strategi persaingan dagang. Tekanan ini tidak akan selesai dalam waktu dekat. Kendati perkebunan sawit menunjukkan perbaikan ke arah yang lebih baik. Mungkin sampai kiamat, tekanan kepada sawit terus terjadi. Bukan tanpa sebab, karena tekanan dagang berkaitan kebijakan dan kepentingan antar negara. (Qayuum Amri)