Jakarta SAWIT INDONESIA – Maraknya pabrik sawit berondolan ibarat buah simalakama. Sisi positifnya, harga beli berondolan melampui harga TBS (Tandan Buah Segar) sawit. Sedangkan, dampak buruknya berpotensi mengganggu proses penetapan harga dan membuat renggang pola kemitraan antara pabrik sawit dengan petani.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Defris Hatmaja mengatakan banyak memang yang menyebut jika pabrik berondolan menjadi sumber ekonomi baru masyarakat. Akan tetapi, menurutnya dampak buruknya pun tak kalah banyak.
“Sekarang banyak fenomena yang mengutip berondolan di kebun, saya gak tau ini orang luar atau dari mana. Brondolan ini yang merusak rendemen yang dihitung dari indeks K karena memang banyak PKS brondolan yang membuat (berondolan) masuk ke pabrik itu akhirnya sedikit. Karena orang lebih condong menjual ke pabrik berondolan,” ujar Defris dalam diskusi Serial Kebijakan Sawit di Jakarta, Selasa (30 April 2024).
Defris menjelaskan bahwa salah satu kaitannya kepada tim harga saat pembahasan indeks K tentang rendemen aktual di pabrik yang punya mitra. Salah satu faktor yang diperdebatkan adalah berondolan sedikit masuk ke pabrik sawit. Kondisinya sekarang ini buah brondolan banyak dicuri sebelum dipanen ataupun yang sudah terjatuh di piringan lalu dijual di pabrik sawit brondolan/ pedagang pengumpul.
“Imbasnya petani mitra juga yang dirugikan karena menjatuhkan persentase rendemen petani di pabrik sawit lalu merembet kepada harga, bahkan mengganggu pendapatan petani,” jelasnya.
Saat Rapat Penetapan Harga provinsi, dijelaskan Defris, masalah brondolan ini akan mengganggu hasil akhir perhitungan Indeks K provinsi karena usulan rendemen aktual dari masing-masing pabrik sawit mitra setiap kabupateng yang masuk ke dalam tim harga akan terganggu lantaran kondisi tersebut.
Terhadap kemitraan, dikatakan Defris, masalah brondolan juga mengganggu hubungan antara pabrik dengan petani mitra. Padahal, petani plasma punya perjanjian kerja sama dalam penjualan TBS dengan mitra perusahaannya.
“Mungkin temen temen petani paham kondisi ini, menurut kami di tim harga ini merusak. Karena nanti akan timbul perselisihan khususnya di tim harga,” ucapnya.
Dengan TBS yang minim berondolan itu, Defris mengungkapkan pabrik akhirnya akan sulit memperkirakan produktivitas mereka.
“Di saat membahas indeks K, perusahaan mengusulkan rendemen aktualnya di pabrik berapa pasti tidak sesuai dari target dari perkiraan. Karena berondolan ini keluar pabrik,” ujarnya.
Lebih lanjut, Defris juga menyampaikan jika saat ini pihaknya dilibatkan dalam revisi Permentan 1/2018 yang menjadi acuan penetapan harga tandan buah segar (TBS). Karena peraturan lama ini, kata dia, sulit sekali petani plasma memperoleh bonus karena syarat 12 persen.
“Makanya kami sudah usulkan dalam revisi Permentan 01/2018 untuk diubah dari persyaratan 12% menjadi 8%. Posisinya sekarang lagi menunggu hasil finalnya seperti apa nanti di Permentan baru. Kalau bisa terealisasi, ini menjadi penyemangat (petani) karena kondisi riil sulit mencapai 12 persen selama ini,” terang dia.