JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pelaku usaha sektor perkebunan diwajibkan melakukan pendaftaran Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan Lainnya (PBB-P3L) kepada Ditjen Pajak. Kewajiban ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.48/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
“Terbitnya regulasi ini ini bertujuan untuk membenahi proses administrasi dan merapihkan data objek PBB. Itu sebabnya, kami meminta pelaku usaha perkebunan melakukan pendaftaran. Aturan ini juga berlaku kepada sektor bisnis lain seperti pertambangan, perhutanan, dan lainnya,” jelas Inge Diana Rismawati, Kasubdit Penyuluhan Perpajakan–Dit P2 Humas Ditjen Pajak, Selasa (7 September 2021).
Pernyataan ini diungkapkan dalam Ngobrol Bareng GAPKI Sesi 28: Sosialisasi Pajak Bumi & Bangunan di Sektor Perkebunan dan Tata Caranya sesuai dengan PMK No 48/PMK.03/2021.
Inge Diana menjelaskan bahwa regulasi ini diterbitkan untuk mendukung easy doing business (kemudahan dalam berusaha), memberikan kepastian hukum, dan pelayanan kepada wajib pajak. Melalui aturan baru ini, Ditjen Pajak dapat membantu perusahaan perkebunan untuk memberikan update informasi mengenai nilai PBB.
PMK 48/2021 mengatur tiga tahapan yang harus dilalui wajib pajak yaitu pendaftaran objek pajak, pelaporan objek pajak yang telah terdaftar, dan pendataan objek pajak dan wajib pajak yang telah terdaftar.
Di proses pendaftaran, perusahaan perkebunan diwajibkan melampirkan dokumen objek pajak yaitu dokumen izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan/atau hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan (PBB Sektor Perkebunan). Pendaftaran diajukan kepada KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak.
Dalam pasal 2 ayat (1) dicantumkan bahwa Setiap wajib pajak wajib melakukan pendaftaran pada Ditjen Pajak melalui KPP paling lama 1 bulan setelah saat terpenuhinya persyaratan subjektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan bidang PBB untuk diberikan SKT (surat keterangan terdaftar) PBB.
Sebagai informasi, SKT PBB belum ada dalam aturan sebelumnya, PMK No. 254/PMK.03/2014. SKT PBB akan diterbitkan oleh Kepala KPP yang bertujuan memberitahukan bahwa objek pajak dan wajib pajak sudah terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan Ditjen Pajak.
Yustinus Lambang, Kompartemen Perpajakan GAPKI, menjelaskan perusahaan perkebunan mengapresiasi terbitnya PMK Nomor 48/2021. Kendati demikian,ada sejumlah persyaratan dan mekanisme yang perlu diperjelas Ditjen Pajak.
Sebagai contoh berkaitan dokumen objek pajak, ia menanyakan perusahaan perkebunan harus mengajukan SK HGU oleh Kepala BPN atau Sertifikat HGU yang diterbitkan dari kabupaten.
Begitupula dari sisi batas waktu pendaftaran adalah 1 bulan dan tambahan 7 hari dinilai terlalu singkat.”Kami usul diberikan batas waktu selama 3 bulan dari tanggal IUP ataupun tanggal sertifikat HGU,” ujarnya.
Persoalan lain adalah lokasi perkebunan seringkali lintas kabupaten bahkan provinsi. Itu sebabnya, kata Yustinus, Jika IUP/HGU letaknya ada di lebih dari satu KPP maka perlu dibagi sesuai dengan lokasi dan luasan yang sebenarnya.
“Di sisi lain, seringkali ditemukan ada tumpang tindih perijinan perkebunan dan pertambangan. Kalau ada masalah ini, sebaiknya ada kejelasan perlakuan pendaftaran,” pinta Yustinus.
Eko Ariyanto, Penyuluh Pajak Ahli Madya Ditjen Pajak, menuturkan bagi perusahaan yang lokasi kebunnya lintas kabupaten sehingga bersentuhan dengan KPP Pratama berbeda. Pihaknya sedang menyusun atura teknis yang dapat menjadi rujukan pelaku usaha.
“Bagi kebun lintas kabupaten, akan dibuat mekanismenya supaya ada kejelasan pemilihan KPP. Karena aturan ini ditertbitkan untuk mempermudah wajib pajak,” jelasnya.