Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mendukung kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia. Teknologi kendaraan di dalam negeri telah siap untuk mengadopsi penggunaan biodiesel.
Indonesia disebut sebagai pelopor pengguna Biodiesel sebagai energi terbarukan untuk bahan bakar yang diimplementasikan pada sektor Public Service Obligation (PSO) dan Non PSO (non subsidi). Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah sebagai upaya mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 untuk mewujudkan netralitas karbon dengan dirilisnya peta jalan Indonesia menuju zero emission pada 2060. Peta jalan tersebut untuk menghadapi berbagai tantangan serta risiko perubahan iklim di masa mendatang. Sehingga transformasi menuju net zero emission menjadi komitmen bersama.
“Dalam prosesnya teknologi otomotif akan terus berkembang menuju pada Net Zero Emission. Sejak 12 tahun lalu, diperkenalkan dengan Hybrid Electric Vehicle (HEV), kemudian muncul Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) dan belakang yang kerap dibicarakan Baterry Electric Vehicle (BEV)/ Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) yang masih dalam tahap pengembangan,” ujar Kukuh Kumara, Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), pada Webinar Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodiesel : Indonesia Menuju B40, yang diadakan Majalah Sawit Indonesia, pada Selasa (30 Desember 2021).
Dikatakan Kukuh, namun yang tidak boleh ditinggalkan adalah ada Biofuel yang sebenarnya cukup lama diperkenalkan. Kurang lebih sudah 15 tahun lalu. Memang belakang kita sudah banyak menggunakan Biodiesel. Tetapi, seingat saya sejak 2006 sudah diperkenalkan adanya Bioethanol, namun belum berkembang seperti yang diharapkan. “Padahal Indonesia sudah mampu memproduksi engine-engine yang mampu menggunakan Flexy fuel menggunakan ethanol, produk-produk tersebut diekspor ke berbagai negara-negara lain,” ucapnya.
“Inilah yang kami harapkan, Bioethanol sebagai bagian dari Bahan Bakar Nabati yang bisa dikembangkan dan digunakan di Indonesia. Mengingat sebagian besar kendaraan di Indonesia adalah jenis kendaraan yang menggunakan bahan bakar gasoline (bensin), sementara kendaraan diesel (solar fosil) relatif rendah dibanding gasoline. Sehingga kalau kita bisa menggunakan bahan bakar nabati yang bisa digunakan untuk Gasoline maka akan bermanfaat bagi kita semua,” imbuh Kukuh.
Seperti diketahui, Biofuel adalah salah satu jalur hilirisasi sawit Indonesia yang sedang dan akan terus dikembangkan. Pengembangan Biofuels di Indonesia dari minyak sawit dapat menghasilkan beragam fuel di antaranya biodiesel (fame), biohidro karbon, diesel sawit (solar sawit), bensin sawit (gasoline sawit), avtur sawit (BioAvtur), biolistrik sawit, bioethanol, biogas, biodiesel alga, dan lainnya.
“Ada yang menarik yaitu BioAvtur yang dikembangkan dari minyak sawit tentunya bisa mengembangkan Biogasoline sebagai pendamping Biodiesel. Kita bisa menggunakan Sumber Daya yang ada di Indonesia supaya bisa menekan penggunaan Fosil Fuel baik gasoline maupun diesel. Sementara untuk diesel kita sudah menggunakan Biodiesel (B30). Bauran ini cukup tinggi, belum ada negara lain yang menyamai Indonesia. Karena di level global masih B7-B10,” kata Kukuh.
Dari data GAIKINDO menunjukkan lebih dari 75% kendaraan yang diproduksi jenis kendaraan menggunakan Gasoline (bensin), sementara kendaraan yang menggunakan Diesel (solar) 24%, dan kendaraan lain yang menggunakan CNG dan EV relatif kecil hanya 1%.
Selanjutnya, Kukuh menjelaskan, implementasi Biodiesel (BBN) mengikuti Peta Jalan untuk menekan gas buang (emisi) di kendaraan bermotor. Dari beberapa tahun lalu secara bertahap teknologi terus mengikuti perkembangannya mulai dari Non Euro. Kemudian mengadopsi Euro II dan sejak 2017 sudah ada ketentuan dari pemerintah kendaraan yang diproduksi dan digunakan di Indonesia harus mengikuti standar gas buang (emisi) Uero IV.
“Dan sudah dilakukan pada kendaraan yang menggunakan gasoline. Sementara bagi kendaraan yang menggunakan diesel sedikit tertunda, yang semula harus dilaksanakan di April 2021 karena ada pandemi Covid-19 baru akan dilaksanakan pada April mendatang,” jelasnya.
“Tahapan-tahapan ini sebagai upaya menuju Net Zero Emission. Kami juga sudah menyinggung alternatif lain teknologi. Jadi, semua teknologi ini akan diadopsi di Indonesia, apakah ICE karena Internal Combustion Engine (ICE) juga masih ada di Indonesia untuk beberapa waktu mendatang. Memang ada alternatif lain akan muncul electric Vehicle (EV), namun akan memerlukan waktu untuk mengadopsinya,” imbuh Sekretaris Jenderal GAIKINDO.
Namun, lanjut Kukuh, dalam proses menuju Net Zero emission memiliki teknologi lain yang diterima yaitu BEV/FCEV dan lain sebagainya termasuk penggunaan ICE yang menggunakan bahan bakar nabati atau sustainable fuel yang terbarukan. Hal Ini yang perlu mendapat perhatian sehingga kita bisa memenuhinya dari dalam negeri.
“Kembali lagi yang ingin kami sampaikan adalah Biodiesel adalah salah satu bahan bakar nabati tetapi masih ada bahan bakar nabati lain yang digunakan untuk kendaraan bermotor roda empat/lebih apa lagi jika digabungkan dengan kendaraan roda dua maka sangat banyak. Dan, alternatif bahan bakar nabati itu ada di Indonesia dan kapasitasnya ada. Ini yang kita tunggu dan dukung bersama untuk penggunaan bahan bakar nabati,” pungkas Kukuh.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 122)