JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Draf naskah akademik yang merekomendasikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan beredar luas di grup sosial media. Naskah ini merupakan kolaborasi Fakultas Kehutanan IPB University dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) yang digagas semenjak Oktober 2021.
Alasan terbitnya naskah akademik ini adalah perlakuan “diskriminatif/crop apartheid” oleh beberapa pihak (baik dalam lingkup nasional maupun internasional) terhadap tanaman kelapa sawit. Sebagaimana ditulis oleh tim penyusun di dalam naskah ini.
Sampai saat ini, dikatakan tim penyusun, bahwa kelapa sawit masih dikategorikan bukan sebagai tanaman hutan baik oleh FAO maupun Kementerian Lingkungan dan Kehutanan RI. Bahkan Keberadaan kebun sawit di kawasan hutan pun dianggap sebagai “masalah”. Lebih dari itu, sejak tahun 2006, tudingan bahwa kebun kelapa sawit Indonesia merupakan hasil deforestasi dan menurunkan keanekaragaman hayati hutan tropika primer terus bergulir ibarat bola salju. Puncaknya, pada tanggal 21 Mei lalu Parlemen Uni Eropa telah mengadopsi Delegated Act RED II ILUC sebagaimana dimuat dalam Official Journal tanggal 21 Mei 2019.
Walaupun kelapa menempati posisi istimewa dalam perekonomian Indonesia. Perlakuan diskriminasi masih diterimanya. Kontribusi sawit mencapai lebih dari Rp 200 triliun setiap tahun dan membuka lapangan kerja bagi 21,49 juta orang. Tetap saja kebijakan yang bersifat “diskriminasi/crop apartheid terhadap tanaman sawit” terus terjadi dalam lingkup nasional tetapi juga internasional.
Sebagai contoh, keputusan FAO tidak memasukkan sawit sebagai tanaman hutan, merupakan hegemoni tafsir dari kelompok negara-negara pesaing sawit yang berkepentingan terhadap kelangsungan industri minyak nabatinya. Demikian pula halnya LSM-LSM serta kelompok masyarakat tertentu sangat menentang SK Menteri Kehutanan tahun 2011 yang memasukkan sawit sebagai salah satu tanaman hutan.
Imbasnya, sampai sekarang kelapa sawit diharamkan untuk ditanam di kawasan hutan. Itulah mengapa kebun sawit (diperkirakan sekitar 3.4 juta ha) yang saat ini sebagian besar (sekitar 73%) berada di dalam kawasan hutan dengan status produksi, hutan produksi terbatas dan hutan konversi dianggap sebagai “permasalahan” dan harus dikeluarkan.
Di bagian latar belakang naskah akademis disebutkan bahwa pembahasan sawit sebagai tanaman hutan telah dibahas Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat Kajian, Advokasi dan Konservasi Alam (PUSAKA KALAM) melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Sawit dan Deforestasi Hutan Tropika” di IPB International Convention Center pada 12 April 2018. Salah satu kesepakatan atau rekomendasi dari FGD tersebut adalah perlu segera disusun naskah akademik “Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi”.
Setelah tertunda tiga tahun lamanya, penyusunan naskah akademis ini baru terealisasi. Adalah APKASINDO sebagai asosiasi petani kelapa sawit mengajak Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB untuk menyusun naskah akademik tersebut.
Agar memperkaya data dan informasi yang diperlukan dalam kajian akademik tersebut telah pula dilakukan Seminar Nasional dengan tema “Permasalahan, Prospek Dan Implikasi Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi” pada 25 November 2021.Tidak kurang dari 22 akademisi (dosen dan peneliti berasal dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian) dan praktisi telah berperan serta secara aktif.
Namun, seminar yang berlangsung hybrid ini sempat terganggu karena diretas hacker. Hacker menyerang jalannya acara webinar dengan mengirimkan pesan dan video tidak senonoh. Prof. Yanto Santosa, Guru Besar IPB University, menengarai banyak pihak tidak suka dengan pemilihan topik sawit dalam kawasan hutan.
Agar naskah bersifat komprehensif maka penyusunan naskah ini menggunakan metode yang telah digunakan pada kajian akademis ini adalah : studi pustaka, wawancara, observasi/pengukuran/ pengamatan di lapangan, FGD/seminar dan studi banding.

Ada tujuh implikasi dengan menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman di kawasan hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak produktif. Pertama, luas areal berhutan Indonesia akan meningkat drastis (16,8 juta ha). Kedua, peningkatan tingkat keanekaragaman jenis hayati pada kawasan hutan terdegradasi, kritis dan tidak produktif.
Ketiga adalah peningkatan kontribusi serapan gas rumah kaca dari areal berhutan. Keempat, nilai ekonomi dan kontribusi kawasan hutan terdegradasi semakin tinggi. Kelima, percepatan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa.
Keenam yaitu target program reboisasi/penghijauan hutan dan lahan kritis akan lebih cepat tercapai. Ketujuh, penyelesaian permasalahan kebun kelapa sawit di kawasan hutan menjadi relatif lebih mudah.
Dalam draf naskah akademik dimunculkan dua rekomendasi. Pertama, usulan kepada pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Petanian dapat menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman kehutanan.
Usulan ini berdasarkan hasil kajian/analisis terhadap berbagai aspek : sejarah asal-usul, bio-ekologi, kesesuaian lahan dan hidrologi, konservasi keanekaragaman hayati, iklim mikro/serapan dan emisi GRK, kinerja ekonomi finansial dan dampaknya terhadap sosekbud masyarakat sekitarnya serta keunggulan komparatif dan berbagai implikasi positif yang dimiliki maka Kelapa Sawit layak dan prospektif untuk dijadikan sebagai salah satu tanaman hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak produktif.
Rekomendasi kedua adalah antisipasi kerentanan sistem “monokultur” dan menjaga keseimbangan ekologis, tanaman kelapa sawit dalam skala luas seyogyanya dikombinasikan/dicampur dengan tanaman hutan unggulan setempat dan tanaman kehidupan yang diperlukan oleh masyarakat sekitarnya.
Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB Bogor, Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS, menjelaskan bahwa naskah akademik yang beredar masih berupa draft.
“Saat ini dilakukan penyempurnaan melalui diskusi internal di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB. Kami menunggu bila ada kritik dan saran untuk perbaikan,” pungkasnya saat dihubungi melalui layanan WhatsApp.