JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Uni Eropa adalah pasar menggiurkan bagi negara produsen kelapa sawit. Tetapi, tantangan yang dihadapi juga tidak mudah. Uni Eropa berusaha meregulasi produk yang masuk ke negara anggotanya termasuk kelapa sawit.
“Uni Eropa punya kemampuan besar untuk memengaruhi pasar global secara unilateral. Otoritas Eropa dapat menentukan kebijakan perdagangan di 27 negara anggotanya. Memang Uni Eropa ini pasar yang sangat besar termasuk bagi kelapa sawit,” ujar Dubes RI untuk untuk Kerajaan Belgia, Keharyapatihan Luksemburg dan Uni Eropa saat berbicara dalam dalam INAPalmoil Talkshow bertemakan”The Fact of Indonesian Deforestation’s Rate”, Rabu (8 September 2021).
Potensi besar Uni Erop dapat terlihat dari jumlah populasi mencapai 516 juta jiwa. Posisi GDP terbesar kedua di dunia senilai US$17 triliun dan GDP per kapita sebesar US$40.900.
Dubes Andri menjelaskan Uni Eropa memiliki pengaruh yang disebut The Brussels Effect. Dalam arti, Uni Eropa punya kemampuan untuk meregulasi pasar global secara unilateral. Harus diakui Uni Eropa mempunyai kemampuan regulatory yang sangat bagus.
“Birokrasi di Eropa sangat efektif yang membuat 27 negara anggotanya terikat. Dan semua kebijakan perdagangan dibuat menjadi satu. Uni Eropa memang ketat sekali dan masyarakat di sana patuh terhadap kebijakan,” urainya.
Ia mengatakan negara-negara yang berminat memasuki pasar Eropa harus memasuki standar kawasan. Dengan begitu, Uni Eropa mampu membentuk global norm setting yang mengarah kepada global norm power.
Sejumlah perusahaan besar seperti Microsoft, Google, dan Apple mengikuti standar UE yang dikenal sebagai “EU GDPR” (European Union General Data Protection Regulation).
“Itu sebabnya, pengaruh Brussel Effect ini juga dirasakan kelapa sawit. Karena kita masih butuh pasar Eropa dan harus mengikuti standar di sana,” kata Andri.
Kelapa sawit akan menghadapi tantangan berkaitan ambisi Uni Eropa untuk menjadi kawasan climate neutral pada 2050. Dubes Andri menjelaskan negara anggota Uni Eropa akan terikat secara hukum dalam mewujudkan European Green Deal yang dituangkan dalam European Union Climate Law (ECL). ECL telah diadopsi oleh Dewan Eropa dan Parlemen Eropa pada 21 April 2021 untuk mendorong target reduksi emisi mencapai 55% pada 2030 dan net zero emission 2050.
“Target ini sangat ambisius sekali. Karena itu semua sektor akan terkena dampak European Green Deal termasuk sawit,” jelasnya.
Ia mengatakan banyak yang mempertanyakan kepentingan Uni Eropa di balik European Green Deal (EGD).”Apakah benar mewujudkan sesuatu yang ideal atau bagian proteksionisme. Kalau skema EGD dijalankan sejumlah negara seperti Tiongkok dan Amerika telah bersiap-siap membawanya ke WTO,” ujarnya.
Dijelaskan Dubes Andri, tantangan terberat kelapa sawit di Uni Eropa lantaran dijadikan bahan baku energi transportasi. Dalam tataran kebijakan, Uni Eropa membidik sawit sebagai biodiesel. Karena itu, kelapa sawit dikaitkan dengan deforestasi.
Ada dikotomi pendekatan bahwa sawit sebagai green energy berupaya dihilangkan. Lain halnya sawit sebagai produk konsumen tetap dipertahankan. Karena masyarakat di sana tetap membutuhkan,” jelasnya.
Ia mengatakan Uni Eropa secara bertahap mengurangi penggunaan bahan bakar fosil karena menghasilkan tingkat emisi cukup besar. Selanjutnya, mereka akan beralih untuk menggunakan mobil listrik.