Kebijakan moratorium bukanlah langkah bijak untuk meningkatkan pertumbuhan industri sawit. Kelapa sawit sebagai sektor bisnis perkebunan semestinya tidak perlu dibatasi karena dapat menopang kegiatan industri hilirisasi.
Enny Sri Hartati berpendapat bahwa kebijakan pembatasan ijin baru kelapa sawit tidaklah tepat. Kemampuan industri sawit untuk tumbuh dapat dijadikan prototipe pengembangan komoditas lain seperti karet, kakao dan komoditas berbasis agroindustri lain.
“Jangan sampai timbul kekhawatiran dari pemerintah sawit dapat melesat jauh. Sedangkan, komoditas lain tertinggal padahal yang harus dilakuan bagaiman komoditas tersebut bisa tumbuh lebih baik,” ujar Enny.
Lebih lanjut kata Enny, penerapan kebijakan moratorium ini bisa menimbulkan kekhawatiran pelaku perkebunan sawit yang sudah masuk dan sedang merencanakan investasi. “Tapi kalau belum apa-apa sudah dibatasi pelaku yang ingin masuk ke hulu maka bisa kontraproduktif,” jelasnya.
Yang sekarang dipertentangkan adalah seolah-olah kelapa sawit merajalela lalu ingin dibatasi lewat kebijakan moratorium. Disinilah, pemerintah seharusnya memperhatikan bahwa moratorium bisa berdampak kepada underground economic atau transaksi ilegal. Misalkan saja, ada warga negara asing yang ingin memiliki lahan sawit lalu membeli secara diam-diam.
“Jadi, perlu ada studi yang jelas dan transparan supaya tahu dampak moratorium lebih jelas terlihat. Apalagi ditengah penegakan hukum yang masih rendah seperti sekarang ini. Tidak bisa sekadar euforia saja. Kami memang tidak mendukung (moratorium) karena resikonya tinggi,” kata Enny.
Menurut Enny, ketika orang sudah menanamkan investasi maka yang akan dicari adalah efisiensi. Sebab, pelaku usaha akan mencari prospek keuntungan. Dalam perjalanannya, perusahaan akan mengambil sikap kompetitif dan berdaya saing sesuai mekanisme pasar.
Apabila pemerintah berpendapat bahwa perluasan lahan sawit dirasa cukup dan melampaui target. Saran Enny yang harus dipikirkan pertama adalah investasi di sektor hilirisasi.. Seharusnya yang dipacu bukan moratorium dari sisi hulu melainkan diberikan kemudahan investasi sektor hilir sawit. Idealnya, pemerintah menciptakan pola yang yang smart semisal memberikan insentif dan kemudahan untuk lakukan hilirisasi. “Nanti jenis apa yang kompetitif dan berdaya saing itu mekanisme pasar akan menemukan equilibrium,” ungkapnya.
Sejauh ini, pola kemitraan yang dibangun antara perusahaan dan petani sawit sudah berjalan baik. Protipe kemitraan ini sebetulnya dapat diadaptasi untuk komoditas perkebunan lain. Tanpa kemitraan dengan swasta tidak mudah bagi petani untuk mengelola perkebunan sawitnya. Sebab, kerjasama yang dibangun diantara kedua pihak bisa menjadikan kebun lebih efisien dan produktif.
(Ulasan lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Juli-15 Agustus 2016)