JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Dua minggu pasca pencabutan larangan ekspor CPO dan minyak goreng serta bahan bakunya, tata niaga sawit belum menunjukkan perbaikan. Yang terjadi, pabrik membatasi pembelian Tandan Buah Segar (TBS) sawit dari petani bahka menghentikan. Mirisnya situasi ini justru terjadi saat harga CPO dunia tembus Rp 23 ribu per kilogram.
“Kemenko Perekonomian seharusnya mampu mengkoordinir kementerian teknis yang berada di bawahnya, sebagai contoh Kementerian Perdagangan,” ujar Dr. Gulat ME Manurung, C.IMA, Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia).
Gulat mencontohkan kebijakan Menteri Perdagangan pada Februari lalu yang memberlakukan regulasi DMO dan DPO, setelah itu beberapa hari kemudian diganti dengan regulasi MGS curah subsidi dari dana sawit BPDPKS (badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit). Konsekuensinya menaikkan Pungutan Eksport (PE) dari US$ 175 per ton menjadi USD 375 per ton.
“Pungutan ekspor sudah mencapai 1/3 dari harga CPO itu sendiri. Hal ini sangat memberatkan eksportir yang selanjutnya dibebankan kepada harga TBS Petani sawit. Belum lagi pajak Bea Keluar (BK) US$ 200/ton CPO, tentu secara total (PE dan BK) sudah mencapai ½ dari harga CPO itu sendiri (asumsi harga CPO jika Rp.16.000/kg). Ini menjadi sejarah dan hanya terjadi di industry sawit yang bebannya mencapai ½ dari harga barangnya. Ini menandakan tidak adanya saling koordinasi,” keluh Gulat.
Apalagi per tanggal 23 Mei lalu resmi DMO dan DPO diberlakukan Kembali, tentu ini menjadi tanda tanya besar kepada kami terkhusus petani sawit. Karena baik PE maupun DMO/DPO akan menjadi beban ganda dari TBS kami Petani. Saya tidak mengerti dasar teori apa yang digunakan. Kami Petani sawit sudah generasi kedua, sudah bisa menghitung dengan cermat.
Dijelaskan Gulat, kebijakan ekspor sawit sampai hari ini belum juga terbit berapa persen DMO nya dan berapa Rupiah DPO ini berakibat ekspor terhambat. Ini semua paduserasi menghancurkan harga TBS petani dan saat ini pantauan kami di 146 Kabupaten Kota Perwakilan DPD APKASINDO dari 22 Provinsi DPW APKASINDO, harga TBS Petani sudah semakin anjlok, rerata harga saat ini Rp 1.900/kilogram untuk petani swadaya (non mitra) dan Rp 2.240/kilogram untuk petani bermitra.
“Kmikami sudah tekor apalagi dengan harga pupuk yang naik hampir 300%. Tim Harga di Posko Pengaduan Harga TBS 24 jam memonitor pergerakan harga TBS di PKS, jadi kami tau apa yang terjadi dari Aceh sampai Papua,” urainya.
Gulat menjelaskan anjloknya harga TBS saat ini jika dibandingkan sebelum larangan ekspor (Rp.4.250/kg TBS) sudah mencapai 55%-60% dan jika kondisi ini masih berlarut, bisa dipastikan harga TBS petani bisa dibawah Rp.1.000/kg atau bahkan tidak laku. Karena pabrik sawit dan refineri sudah kewalahan menyimpan CPO hasil olahan TBS kami petani. Apalagi ekspor belum juga berjalan.
“Walaupun larangan ekspor sudah dicabut per 23 Mei lalu, per hari ini ekspor CPO dan turunannya masih rendah. Akibatnya refineri dan pabrik sawit tidak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi selalu gagal tender nya di KPBN, sudah lebih dari 1 bulan tender CPO di KPBN tidak membuahkan hasil (WD) akibat ketidakpastian ini. Ini masa-masa sulit tahap kedua yang kami alami, setelah sebelumnya saat larangan ekspor masih berlaku,” kata Doktor Lulusan Universitas Riau ini.
Ia menyebutkan bahwa Apkasindo tidak membela siapapun tetapi hanya memikirkan dampaknya kepada petani sawit dan keluarga yang harus dibiayai.
“Jadi jangan membuat opini bahwa pergerakan kami untuk orang atau kelompok lain. Ini masalah “dapur” kami, apapun akan kami lalukan untuk itu, tidak ada bedanya Ketika dapur anda terganggu,” kata Gulat.
Terlampau sederhana sekali sebenarnya akar dari masalah kisruhnya industry hulu dan hilir sawit Indonesia ini, yaitu masalah distribusi untuk ketersediaan MGS yang terjangkau. Sejak lima bulan lalu kami APKASINDO sudah beri pendapat supaya dalam distribusi MGS Subsidi melibatkan Bulog dan penugasan khusus TNI/POLRI, selesai itu persoalannya dan jangan pernah melibatkan secara khusus kepada distributor swasta, negara harus full pegang kendali,” pungkas Gulat.