YOGYAKARTA, SAWIT INDONESIA – Industri minyak sawit Indonesia di pasar minyak nabati global pada pertengahan 2018 mengalami peningkatan terutama di pasar India yang selama ini menjadi negara tujuan utama eksport minyak sawit Indonesia.
Tercatat, pada Juli 2018 volume minyak sawit Indonesia (CPO, PKO dan turunannya), oleochemical dan biodiesel, bahkan mampu mencatat angka tertinggi ekspor bulanan Indonesia yaitu 3,22 juta ton atau naik 27% dibandingkan dengan Juli 2017 sebesar 2,54 juta ton.
Mukti Sardjono selaku Direktur Eksekutif GAPKI faktor pendorong meningkatnya pasar minyak sawit Indonesia adalah harga minyak sawit yang sedang murah, India kembali membeli minyak sawit akibat dari regulasi baru yang menaikkan bea masuk untuk impor minyak nabati lainnya termasuk, bunga matahari dan rapessed serta China yang mulai tertarik Biodiesel Indonesia.
“Sementara itu, secara year to year, capaian kinerja ekspor minyak sawit Indonesia dan industri hilirnya (Biodiesel dan oleochemical) hanya naik 2% sampai pada Juli 2018, 18,15 juta ton menjadi 18,52 juta ton dibandingkan periode tahun lalu,” ujar Mukti.
Jika dilihat dari sisi produksi, pada Juli 2018 produksi juga mengalami peningkatan yaitu mencapai 4,28juta ton, merupakan angka tertinggi produksi CPO dan PKO sejak 2015. Hal ini dipengaruhi cuaca yang mendukung dan pengaruh El Nino dari dua tahun lalu sudah tidak ada. Serta meningkatnya luas tanaman menghasilkan meningkatnya produksi tandan buah segar (TBS).
Dalam pandangan Mukti, kondisi pasar minyak nabati pada Juli 2018 juga menarik untuk dibahas. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China cukup mempengaruhi pasar. Tidak puas berselisih dengan China, AS kembali mengalami perselisihan dagang dengan India. AS menaikkan tarif impor yang lebih tinggi alumunium dan baja dari India. India merespon dengan mengajukan keberatan kepada WTO dengan menyertakan daftar produk (gandum, minyak kedelai mentah dan refines palm olein) yang akan menjadi subyek retaliasi dari pajak bea masuk.
“Perang dagang China dan AS menyebabkan minyak kedelai jatuh di pasar global karena China mengurangi pembelian kedelai. Sementara itu, India menahan pembelian minyak kedelai mentah dari AS,” tambah Mukti.
India, pada Juli lalu kembali meningkatkan pembelian minyak sawit dari Indonesia hingga 652,73 ribu ton, yang merupakan pembelian tertinggi sepanjang 2018. Bea masuk yang tinggi sudah tidak menjadi faktor penghambat lagi karena pada awal Juli lalu India juga menaikkan tarif bea masuk untuk kedelai, rapessed, bunga matahari dan kacang tanah. Harga yang lebih murah dan perselisihan dagang India dengan AS, serta kebutuhan di dalam negeri yang harus dipenuhi memacu India meningkatkan pembelian minyak sawit dari Indonesia mencapai 40% lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Tidak hanya India, China pada Juli lalu juga membuktikan impor minyak sawit (CPO, PKO dan produk turunannya) dari Indonesia naik sebesar 6% atau dari 330,43 ribu ton pada Juni lalu meningkat menjadi 350,12 ribu ton di Juli. Dan, China juga menunjukkan bagi pasar Biodiesel berbasis sawit Indonesia yang selama dua bulan terakhir mengalami peningkatan.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada Juni lalu China kali pertama membeli Biodiesel berbasis sawit Indonesia sebesar 185 ribu ton, sementara pada Juli meningkat menjadi 210 ribu ton. Tidak hanya itu, Afrika dan Bangladesh juga meningkatkan kenaikan pembelian sawit Indonesia yang sangat signifikan, masing-masing 137% dan 86%. Volume ekspor ke negara Afrika pada Juni lalu mampu mencapai 96,07 ton, sementara pada Juli meningkat menjadi 227,63 ribu ton.
Kendati beberapa negara tujuan ekspor meningkat, namun sebagian negara seperti Pakistan, AS dan Uni Eropa mengalami penurunan. Pakistan pada Juli lalu menurunkan impornya 20% dari 215,29 ribu ton menjadi 171,29 ribu ton. Sementara AS mengurangi impor minyak sawit karena stok kedelai yang tinggi. Meskipun kekeringan melanda daerah penghasil rapessed dan bunga matahari di Uni Eropa.