Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempertaruhkan masa depan perkebunan sawit melalui Kepmen LHK No SK.01/2022. Regulasi ini dinilai cacat prosedur dan rawan konflik sosial. Berpotensi membuat kredit macet di perbankan.
Terbitnya Kepmen LHK No SK.01/2022 mengejutkan semua pihak. Apa lagi beredarnya aturan ini diketahui di sosial media. Tanpa kop resmi dan tanda tangan Menteri LHK, Siti Nurbaya, aturan ini menyatakan menertibkan, mengevaluasi, sampai mencabut pemanfaatan kawasan hutan untuk berbagai kepentingan seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, panas bumi, pariwisata alam, dan kelistrikan.
Dalam aturan ini dikatakan KLHK telah mencabut 42 unit perizinan/perusahaan di kawasan hutan seluas 812.796,93 hektare pada periode September 2015 sampai Juni 2021.
Selain itu, terdapat 192 unit perizinan/perusahaan seluas 3.126.439,36 Hektare (Ha) yang dicabut izin konsesi di kawasan hutan mulai 6 Januari 2022. Sebagian besar perusahaan yang izinnya dicabut berada di wilayah Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Maluku.
Untuk mengklarifikasi Kepmen LHK No SK.01/2022, tim redaksi berupaya menghubungi Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono dan Ruandha Agung Sugardiman, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK melalui layanan pesan WhatsApp. Tetapi tidak ada jawaban.
Padahal di lapangan, aturan ini menimbulkan gesekan sosial. Sejumlah masyarakat mematok lahan perkebunan perusahaan yang namanya tertera di Kepmen LHK No.SK 01/2022. Begitu pula pejabat daerah banyak yang tidak mengetahui putusan KLHK. Kepala Dinas Kehutanan Kalteng Sri Suwanto dan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Vent Christway mengaku masih belum menerima salinan ataupun tembusan terkait dengan pencabutan izin konsesi tersebut pada 11 Januari 2022.
Misteriusnya SK O1/2022 membuat Dr. Sadino, Praktisi Hukum Kehutanan mengira aturan ini hoaks. Karena tidak ada penjelasan resmi dari KLHK. ”Tadinya saya sarankan supaya pengusaha tetap tidur nyenyak saja. Karena aturan ini tidak jelas,” ucapnya.
Ia mengatakan aturan SK No.01/2022 dinilai tidak sejalan dengan semangat UU Cipta Kerja khususnya Pasal 110A dan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2021 dan regulasi turunannya yang berupaya mempermudah investasi dan pembangunan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan menjamin pekerja tetap dapat bekerja.
“Judul Keputusan dan isinya sangat berbeda. Tidak ada sinkronisasi. Kepmen LHK 01 ini langsung mengatakan pencabutan. Namun dalam aturan ini dikatakan agar Direktorat Jendral menerbitkan surat keputusan Direktur Jenderal atas nama menteri, masih ada proses evaluasi. Inikan tidak nyambung. Harusnya, Menteri LHK dan jajarannya mengikuti prosedur,” ucap Dr. Sadino.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 123)