Arif Havas Oegroseno menganalogikan kampanye negatif sawit seperti permainan bola. Belum selesai satu isu sudah berpindah isu lain. Alhasil, pemain sulit mencetak gol karena gawang selalu dipindah-pindah.
Arif Havas bercerita pengalamannya saat menghadapi kampanye negatif yang ditujukan kepada industri sawit. Isunya tidak pernah selesai dan selalu bergantian. Hari ini, sawit diserang masalah deforestasi lalu besok berubah kepada persoalan orang utan. Setelah itu, berganti menjadi masalah sustainability lalu sekarang yang diserang masalah HAM.
“Ibarat bermain bola, ketika ingin menyerang. Gawangnya berpindah-pindah. Seperti ini lah kampanye negatif sawit,” cerita Arif Havas.
Saat dilantik menjadi Dubes RI untuk Jerman, ia cukup terkejut karena banyak ditemukan tulisan anti sawit di Kebun Binatang setempat. Lalu, dirinya berinisiatif mengajak berdiskusi pengurus kebun binatang. “Memang ada kebun binatang yang pro sustainability. Kita harus mengajak mereka berdialog,” jelasnya.
Minyak kelapa sawit terbukti memiliki produktivitas yang tinggi dengan penggunaan lahan paling rendah. Hal tersebut menjadikan Industri yang berkembang di Indonesia dan Malaysia tesebut sebagai sebuah ancaman besar bagi Industri minyak nabati global. Sengitnya persaingan dagang, memunculkan berbagai isu mulai dari deforestasi, pengelolaan lahan gambut bahkan Hak Asasi Manusia (HAM). Isu Digulirkan sebagai amunisi untuk menjatuhkan industri kelapa sawit yang dilancarkan di luar negeri mau pun bahkan dalam negeri.
Havas menyatakan upaya memerangi kampanye negatif dan diskriminasi sawit Indonesia terkendala masalah anggaran. Sementara itu, Uni Eropa selain melakukan berbagai upaya proteksi terhadap pertaniannya, juga mengalokasikan 65% anggarannya untuk mensubsi di pertanian.
“Kita menghadapi serangan dari negara mau pun industri yang memberikan modal besar. Sementara yang kita lakukan jumlahnya banyak tapi nilainya sedikit. Bandingkan dengan kampanye yang dilakukan oleh perusahaan Avril Group yang merupakan perusahaan agro Industri asal perancis yang mengalokasikan dana kampanye anti sawit sebesar USD 75 juta setiap tahunnya,” ujar Havas.
Dalam pandangan pria kelahiran Semarang, 57 tahun silam ini bahwa upaya melawan kampanye negative ini bersifat long-fight, Indonesia membutuhkan strategi yang jelas untuk melakukan kampanye sawit. Kita tidak bisa hanya bersikap reaktif tapi harus proaktif, offensive and smartly aggressive.
Menurut Arif Havas, Indonesia membutuhkan strategi berkesinambungan dan terstruktur dalam menghadapi permainan panjang yang terus menekan industri kelapa sawit. Selama ini kampanye yang sudah dilakukan diakuinya belum optimal. Dapat mengintensifkan kampanye sawit di dalam negeri atau domestic front. Dalam hal ini, kolaborasi antara pemerintah dan pengusaha dalam negeri penting untuk mendorong kampanye terstruktur pada level internasional.
Selanjutnya mengoptimalkan foreign front (luar negeri) melalui kampanye investasi dan kampanye legal. Ia mencontohkan perusahaan-perusahaan Indonesia dan Malaysia yang memiliki investasi di Eropa harus berkolaborasi untuk melakukan diplomasi kepada pemerintah dan masyarakat setempat sebagai langkah kampanye terstruktur. Selanjutnya, kampanye legal atau hukum juga menjadi langkah strategis yang bisa disasarkan langsung kepada pihak-pihak anti-sawit.
Arif Havas Oegroseno pun menilai perlu strategi kampanye sawit yang tepat dalam situasi tersebut. Tercata, ada lime strategi yang dapat dilakukan dari segi keberlanjutan, kesehatan, teknologi, sertifikasi, dan CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement).
Dia mengatakan, pemerintah dan pengusaha perlu meningkatkan studi mengenai keberlanjutan sawit untuk mencegah terjadinya kekeliruan persepsi pasar tentang produk sawit. Sebab, masih banyak negara yang memandang negatif sawit baik dari segi lingkungan, mau pun kesehatan. Strategi tersebut perlu diiringi dengan peningkatan relasi dengan berbagai mitra, seperti ilmuwan, asosiasi petani sawit di Uni Eropa, sekolah, hingga pengelola kebun binatang. Sekolah hingga kebun binatang di Uni Eropa menurutnya dua sektor yang masih luput dari target kampanye sawit. Perlu dibangun komunikasi yang baik antara sekolah di Indonesia dengan di Jerman. Karena ada para siswa mendapatkan informasi negatif terkait sawit.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 105)