JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mendukung langkah pemerintah Indonesia untuk menolak ajakan boikot ekspor sawit ke Uni Eropa. Pernyataan ini disampaikan Dr. Gulat ME Manurung, MP, CIMA, Ketua Umum DPP APKASINDO di Jakarta, pekan lalu.
“Jangan-jangan ajakan Malaysia bagian politik dagangnya. Sebab, Indonesia akan lebih kerepotan jika benar-benar boikot ini dilaksanakan. Asumsinya, produksi CPO Indonesia 46,73 juta ton pada 2022 dan Malaysia hanya 18 juta ton,” ujar Gulat.
Definisi boikot adalah tindakan untuk tidak menggunakan, membeli, atau berurusan dengan seseorang atau suatu organisasi sebagai wujud protes atau sebagai suatu bentuk pemaksaan.
Selanjutnya berdasarkan definisi ini maka pertanyaan yang muncul apakah semua organisasi (negara) penghasil minyak sawit sepakat boikot ?
Gulat mengatakan apabila ajakan boikot itu mengatasnamakan CPOPC yang masih beranggotakan dua negara Indonesia dan Malaysia. Lalu bagaimana dengan negara-negara lain penghasil minyak sawit seperti thailand, Nigeria, Kolombia, Honduras, Papua New Guinea dan Guatemala ?
Gulat menjelaskan negara-negara tersebut dapat menjadi kran minyak sawit bagi UE. Saat pertemuan Dubes Eropa untuk Indonesia dengan APKASINDO. Henriette Faegermann, Konselor Pertama untuk Lingkungan dan Aksi Iklim UE sempat menyebutkan 60% produk pangan Eropa dicampur dengan minyak sawit. Jadi jika benar-benar diboikot tentu UE akan mencari akal dari negara lain untuk mendapatkan minyak sawit.
Memang harus diakui bahwa ada yang janggal terhadap UU Deforestasi Eropa tersebut yaitu kenapa minyak nabati dari rapeseed/kanola, sunflower tidak dimasukkan dalam UU tersebut? Padahal hasil studi mereka sendiri tahun 2013 membuktikan rapeseed/canola, sunflower juga terkait deforestasi.
“Dan menjadi suatu yang aneh jika cut off date 31 Desember 2020 (UE tidak mempermasalahkan minyak sawit yang berasal dari deforestasi 2020 ke bawah. Lalu hanya berlaku untuk minyak sawit jika dipakai untuk pangan, tapi UU Anti Deforestasi UE tersebut tidak memberlakukan hal sama kepada biofuel dari minyak sawit,” jelas Gulat.
Terkait ketelusuran, pada pertemuan dengan Dubes UE dikatakan oleh Piket bahwa segala beban dari “ketelusuran” tersebut akan ditanggung oleh negara UE, tidak membebankan kepada produsen.
“Tapi itu semua bahasa politik dagang yang ujung-ujungnya akan membuat harga minyak sawit akan semakin mahal mendekati minyak nabati dari rapeseed dan bunga matahari” ujar Gulat. Jika mahalnya harga tersebut menambah margin petani mungkin masih ada pembenaran, tapi tidak demikian.
Selanjutnya Gulat mengatakan kepada sawitindonesia.com bahwa sertifikasi RSPO sudah berlangsung lebih dari 10 tahun, “apakah semua CPO yang sudah tersertifikasi RSPO ludes semua mereka beli ?, jawabannya tidak. Malah mereka lebih suka membeli yang tidak tersertifikasi RSPO, karena lebih murah, itu faktanya. Hal ini saya catat ketika seminar “Ekspor Minyak Sawit Berkelanjutan” yang diinisiasi oleh Forum Wartawan Pertanian 2019 lalu.
Namun apakah boikot adalah pilihan utama? Jawabannya tidak. Memang diperlukan “perlawanan” dan boikot adalah pilihan terakhir. Mengedepankan lobi dan diplomasi adalah pilihan terdepan. Karena Indonesia sudah mengantisipasi dampak diberlakukannya UU UE tersebut seperti mandatory B35 (serapan domestik, khususnya untuk menjaga kelimpahan stok CPO global, supply and demand) dan terakhir pengetatan ekspor (DMO). Memang benar bahwa DMO ini adalah beban tapi dengan B35 akan membuat menuju keseimbangan.
“Terkait hasil kunjungan Dubes UE ke Kantor Pusat DPP APKASINDO tidak dapat diartikan bahwa Petani sawit sudah melunak atau bahkan menerima kenyataan UU UE tersebut, tidak sesederhana itu,” tegas Gulat.
Selanjutnya, kata Gulat, Dubes UE akan audiensi ke GAPKI pada Senin besok untuk hal yang mungkin sama.
“Tapi ini suatu kemajuan yang cukup berarti dalam proses lobi dan diplomasi tadi dan kami petani senang dilibatkan oleh UE untuk berperan, ” lanjut Gulat.
“Membaca dan mempelajari lebih lanjut point-point rapat yang sudah dipersiapkan oleh Tim Dubes UE adalah hal yang lebih penting buat kami APKASINDO. Kami akan melanjutkannya meminta pendapat ke Dewan Pembina dan Dewan Pakar DPP APKASINDO, setelah itu kami akan membuat tanggapan secara resmi dalam waktu dekat,” pungkas Gulat.