“Sebelum tambang dan hutan habis, perlu ada sektor ekonomi yang menjanjikan dan bisa diakses masyarakat Papua,” ujarTungkot Sipayung.
Tungkot Sipayung menjelaskan bahwa kelapa sawit dapat berperan untuk merestorasi ekonomi, sosial, dan ekologi Papua. Kenapa sawit? pemerintah telah banyak mengembangkan tanaman lain non sawit tetapi kurang cocok bagi kondisi lokal. Makanya, perlu dibuat pengembangan usaha yang dekat dengan budaya dan kemampuan masyarakat lokal.
“Tujuan kita ingin membangun Papua bukan mengeksploitasinya. Masyarakat ingin dijadikan lebih sejahtera. Apa bila dibangun tanaman pangan yang lebih intensif, itu tidak cocok. Karena sawit bagian kehidupan dari Papua. Dimana satu family dengan palma dan sagu,” ungkapnya.
Ia mengatakan kelapa sawit punya banyak keunggulan karena tanaman tidak cengeng, mudah ditanam, dan perawatannya tidak sulit. Alhasil, tanaman kelapa sawit cocok bagi masyarakat Papua karena tidak intensif dalam pengembangannya seperti di Jawa.
Data statistic perkebunan sawit di Papua telah mengalami peningkatan pesat. Pada 1990, perkebunan sawit di Papua didominasi kepemilikan rakyat dan negara. Lalu tren berubah pada 2019 dimana sudah ada swasta masuk membangun sawit selain perkebunan negara dan rakyat.
Tungkot menjelaskan kehadiran perkebunan swasta ini akan membantu lahirnya pola kemitraan antara perusahaan dengan petani plasma. Dari situlah akan muncul interaksi ekonomi dimana muncul supplier barang dan jasa untuk mengisi kebutuhan daerah tersebut. Alhasil menjadi pengembangan bagi produk pertanian.”Pola kemitraan inti plasma ini sebagai penggerak kegiatan ekonomi. Jadi sudah benar pola ini,” ujarnya.
DikatakanTungkot, pasar akan tercipta diantara ekonomi masyarakat pedesaan dan pertanian. Ekonomi daerah akan berputar yang membawa kemakmuran masyarakat sekitar. Tidak menutup kemungkinan bahwa Perkebunan sawit membangun pusat pertumbuhan ekonomi baru di Papua dan Papua Barat terutama di daerah Keerom, Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, Teluk Bintuni, FakFak dan Merauke.
“Pendapatan petani juga pasti meningkat. Ada perbedaan antara petani sawit dan non sawit. Tujuan kita supaya menjadikan masyarakat tidak miskin. Dan anak-anak bisa sekolah,” ujarnya.
Ada perbedaan antara kabupaten yang ada sawit dan non sawit. ”Saya yakin PDRB kabupaten sawit semakin lama semakin besar karena berkembang dan hasilkan pendapatan lebih tinggi. Lalu sawit membuka akses daerah miskin dari aspek tenaga kerja,” paparnya.
Tungkot menyatakan perkebunan sawit dapat menekan angka kemiskinan di pedesaan sebagaimana terjadi di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Malaysia dan Papua Nugini. Perkebunan sawit dapat menjadi instrument ekonomi untuk memangkas perekonomian.
Dari aspek ekologi, dikatakanTungkot, dampak logging di masa lalu akan diperbaiki perkebunan sawit. Sebab, sawit membuat tanah Papua lebih hijau. ”Sebagai contoh penyerapan karbondioksida oleh kebun sawit menyamai fungsi hutan. Kita hijaukan Papua dengan sawit yang berkontribusi bagi iklim,” jelasnya.
Ia menjelaskan pembangunan perkebunan sawit di Papua akan menjadi paru-paru dunia. Dengan menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen. Lalu ada fungsi stok karbon dan peningkatan biomasss sehingga membantu pencegahan pemanasan global.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 114)