Perkebunan sawit dinilai dapat menyejahterakan dan lahan perkebunan pun sebagian besar dimiliki masyarakat termasuk masyarakat adat.
Hidup berdampingan dengan masyarakat adat dalam rangka menjaga lingkungan alam dan mengembangkan ekonomi di daerah, dapat dilihat di beberapa daerah yang ada perkebunanan sawit, misalnya di Sumatera dan Kalimantan.
Sebagai contoh, masyarakat adat (Orang Rimba di Jambi) yang hidup dengan mengandalkan lingkungan (alam). Sementara itu, perkebunan sawit juga menggantungkan pada alam untuk keberlangsungan proses perkembangan tanamannya. Karenanya, masyarakat adat dan perkebunan sawit dinilai dapat saling hidup berdampingan tanpa konflik. Pasalnya, keduanya sama-sama saling membutuhkan dalam rangka kegiatan pembangunan ekonomi di daerah dan Indonesia.
Wakil Menteri ATR/BPN, Surya Tjandra mengatakan masyarakat adat dengan perkebunan kelapa sawit tidak perlu di pertentangkan. “Pasalnya, perkebunan dinilai dapat menyejahterakan dan lahan perkebunan pun sebagian besar dimiliki masyarakat termasuk masyarakat adat,” ujarnya, dalam diskusi webinar bertemakan “Merawat Industri Sawit di tengah Isu Masyarakat Adat” yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia dan Borneo Forum pada akhir September lalu.
Mengingat perkebunan sawit saat ini menjadi komoditas unggulan Indonesia yang mampu berkontribusi pada devisa negara. Pemerintah perlu memiliki perhatian khusus terhadap pengembangan sawit berkelanjutan terutama di daerah yang masih ada masyarakat yang lekat dengan adat mengandalkan alam sebagai ruang untuk pemenuhan hak hidupnya.
Untuk mendukung praktik perkebunan sawit berkelanjutan, pemerintah menerbitkan sejumlah peraturan, antara lain melalui Inpres No 8 tahun 2018 tentang Penundaaan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit, Inpres No 6 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN – KSB) dan Perpres No 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Yang diterbitkan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sejumlah peraturan di atas tak lain untuk mendukung praktik perkebunan sawit berkelanjutan yang luasan dampak dan manfaat industri sawit bagi Indonesia. “Harus diakui, kelapa sawit merupakan komoditas paling efisien dan produktivitas tinggi sampai sekarang. Dalam konteks masyarakat adat dan kebun sawit perlu ada perubahan perspektif atau cara pandang. Perspektif tidak sebatas melihat masalah. Ini penting supaya tidak fokus pada masalahnya saja tetapi untuk melihat sudut pandang (angel) lain untuk menemukan solusi,” kata pria kelahiran Jakarta, 21 Maret 1971.
Selanjutnya, Surya menambahkan perkebunan sawit dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Meski di sisi lain, perlu penyediaan ruang hidup bagi masyarakat adat yang proporsional dan berkekuatan hukum.
“Kita harus menemukan solusi, bagaimana sawit bisa dimanfaatkan dan disaat yang samabisa memberikan hasil yang lebih baik,” imbuhnya.
Menurut Surya, masyarakat adat paling mudah kena dampak buruknya, hidupnya relatif tradisional tidak mengenal pembangunan seperti masyarakat di kota. “Apakah itu buruk belum tentu juga, memang gaya hidupnya seperti itu. Sehingga perlu ada shifting perspectives untuk melihat tujuan hidupnya seperti apa?,” ujarnya.
Lebih lanjut, Surya menambahkan dalam konteks masyarakat adat dan kebun sawit perlu shifting perspectives, dengan luasan dampak dan manfaat dari industri sawit bagi Indonesia. Maka keberadaan dan hubungan masyarakat hukum adat dengan perkebunan kelapa sawit adalah suatu kenyataan yang harus menjadi bagian bagi pengembangan praktik berkelanjutan,” lanjutnya.
Untuk mewujudkan kenyataan keberadaan dan hubungan masyarakat adat dengan perkebunan sawit hidup berdampingan, dengan tujuan akhir memberikan jaminan hak yang jelas dan clear secara kolektif dan individual pada masyarakat adat, peran Negara sangat besar.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 108)