Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional berupaya memberikan pemahaman urgensi RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law kepada Masyarakat. Tugas ini dijalankan Dr. Dr. Surya Tjandra, S.H., LL.M, Wakil Menteri ATR/BPN untuk mengedukasi masyarakat berkaitan Omnibus Law.
“Saya berharap mendapatkan masukan lebih banyak dalam diskusi ini. Secara umum RUU Cipta Kerja tujuannya transformasi struktural secara menyeluruh. RUU ini dirancang sudah cukup lama oleh Presiden. Kementerian ATR/BPN juga terlibat langsung,“ ujar Surya Tjandra.
Dijelaskan Surya bahwa salah satu rancangannya dalam kinerja pemerintah bagaimana menembus ego sektoral dan menghapuskan hyper-regulation. Artinya, terjadi regulasi yang berlebihan, tumpang tindih,overlapping, dan saling menegasikan.
Disinilah peran RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law berupaya memotong seluruh persoalan tadi. Lalu, merangkumnya menjadi satukesatuan yang solid. Dalam konteks itulah ada beberapa turunan atau target, pertama simplikasi dan harmonisasi, kesejahteraan yang berkesinambungan, menciptakan lapangan kerja, dan investasi yang berkualitas.
“RUU Cipta Kerja memiliki 11 klaster. Tetapi, Kementerian ATR/BPN tidak terlibat di semua klaster. Ada sekitar 3 atau 4 klaster berkaitan otoritas kami. Diantaranya PengadaanTanah, Investasi& Proyek Pemerintah, dan Penyederhanaan Perizinan Berusaha,” ujar Surya.
Harus diakui tantangan RUU Cipta Kerja ini disusun sebelum pandemi Covid-19.“Jadi kita butuh masukan pasca Covid-19 ini selesai,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa dari aspek kepentingan pemangku kepentingan sawit faktor paling krusial mengenai data. Terutama persoalan data peta nasional supaya tidak terjadi overlapping. Maka, dapat kita ketahui lahan yang bisa digunakan untuk kepentingan usaha dan tidak. Hal ini sangatlah krusial mengenai data untuk dapat dijawab dengan RUU Cipta Kerja. Sejak moratorium, perusahaan sawit tidak bisa memperluas lahan tetapi petani tidak bisa dibendung dan terus terjadi pembukaan lahanbaru untuk sawit.
Di sisi lain, sawit menjadi program prioritas pemerintah. Dikatakan Surya, Presiden Jokowi mengaitkan sawit dengan keamanan energi (energy security). Barangkali sudah ada strategi yang sudah dilakukan perusahaan, asosiasi petani, pemerintah daerah dan sebagainya. “Namun, butuh masterplan besar, bagaimana utilisasi tanah untuk sawit bisa lebih efektif.”
Sementara itu, pemerintah berencana membentuk lembaga bank tanah dan diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Dengan begitu, pemerintah memastikan bahwa lembaga ini tak akan dikuasai oleh oknum tertentu. Untuk itu, semua pihak akan dilibatkan untuk mencegah penguasaan tanah sepihak.
Menurutnya banyak tanah negara yang tidak bisa segera dipakai saat dibutuhkan. Bahkan, pemerintah harus melakukan pembebasan tanah dan membeli dengan harga mahal untuk bisa menggunakan lahan. “Warga tidak ada keluhan, relatif mulus. Tapi kami harus membeli,” ujar dia. Karena itu, pemerintah berfokus pada tanah negara yang tidak dikuasai atau belum dikelola oleh pihak manapun. Pemerintah pun akan membentuk lembaga khusus yang mengelola tanah.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 103)