Pandemi Covid-19 menjadi momentum tepat untuk mempercepat diversifikasi pangan. Karena itu, pola pandang harus diubah bahwa beras bukan satu-satunya sumber karbohidrat.
“Pandemi Covid-19 berpeluang mengancam distribusi pangan di dalam negeri. Jika tidak tertangani, akan berdampak kepada keamanan pangan,” ujar Dr. Sahara.
Oleh karena itu, dikatakan Sahara, pandemi merupakan momentum sebagai alternatif solusi dengan pengembangan diversifikasi panganlokal. Di sinilah, perlunya upaya mendorong masyarakat agar memvariasikan makanan pokok yang di konsumsi sehingga tidak terfokus pada satu jenis saja.
Saat ini, Indonesia memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 75 jenis pangan sumber protein, 110 jenis rempah dan bumbu, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 26 jenis kacang-kacangan, dan 40 jenis bahan minuman.
Namun, konsumsi beras per kapita yang terlampau tinggi. Menurut Sahara, kondisi tersebut kontra produktif lantaran dapat menghambat investasi dan pengembangan produk pangan selain beras. “Efeknya, kemampuan kita memproduksi pangan lokal secara kontinu rendah. Belum lagi bicara soal teknologi pengolahan pangan lokal yang masih terbatas,” ujar lulusan University of Adelaide, Australia.
Di katakan Sahara, diversifikasi pangan tidak hanya untuk pangan pokok, tetapi juga pada upaya mendorong keragaman konsumsi berbagai jenis makanan yang mengandung protein, serat dan vitamin yang tinggi. Makanya, upaya diversifikasi pangan harus dilakukan secara terintegrasi melalui aspek permintaan dan suplai.
Dalam pandangannya, ada sejumlah tantangan yang dihadapi untuk diversifikasi pangan. Pertama, mindse mengenai ketergantungan pada satu jenis pangan utama (beras). Kedua, kebijakan pengembangan pangan yang masih berfokus pada beras ini terlihat dari konsumsi beras per kapita di Indonesia masih tinggi, investasi dan pengembangan produk pangan selain beras rendah, kemampuan memproduksi pangan lokal secara kontinu rendah, dan teknologi pengolahan pangan lokal yang masih terbatas sulit untuk bersaing dengan pangan yang berbasis impor.
Tantangan ketiga, belum maksimalnya peran stakeholders di luar pemerintah (Industri, Lembaga Penelitian. Berikutnya yang menjadi persoalan diversifikasi adalah tingginya konsumsi makanan olahan (processed food).
Jalan keluarnya adalah mengubah cara berpikir masyarakat bahwa beras bukan satu-satunya sumber karbohidrat disinilah perlunya peran pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Berikutnya, membangun promosi pentingnya mengkonsumsi pangan lokal dan pangan yang beragam. “Kita dapat mempromosikan aspek kesehatan mengenai pentingnya mengkonsumsi nutrisi dan gizi yang berimbang,” kata Sahara.
Dalam pandangannya, sistem distribusi yang terintegrasi baik di pasar output output merupakan syarat perlu bagi upaya peningkatan produksi pertanian. Untuk itu, produk pertanian di hasilkan di wilayah pedesaan, sementara Sebagian besar konsumen tinggal di wilayah perkotaan dan input pertanian dihasilkan di luar wilayah produksi.
Sektor pertanian saat ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional, terutama dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menurut dia, hal itu terlihat dari pertumbuhan ekspor pertanian yang selalu meningkat signifikan.
“Saat sektor lain mengalami perlambatan, sektor pertanian tetap menunjukkan kinerja yang positif. Bisa dikatakan sektor pertanian menjadi penyelamat bagi perekonomian indonesia, terutama seperti sekarang ini, di mana kita sedang menghadapi wabah pandemi,” ujar Sahara.
Makanya, kata Sahara, pasca pandemi Covid-19 nanti, fokus pembangunan pada sektor pertanian dan industri hilirnya wajib menjadi perhatian utama bagi semua pemangku kebijakan. Sahara menilai, langkah ini perlu dilakukan mengingat nilai ekspor pertanian selalu berada dalam posisi positif.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 107)