JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Sesuai dengan hak konstitusional, bagi warga negara yang memegang Hak Guna Usaha (HGU) berhak memanfaatkan lahan sesuai peruntukannya. Meski memiliki HGU, tidak semua pemegang HGU mendapatkannya melalui pelepasan kawasan hutan, tetapi bisa akuisisi, jual beli atau hasil lelang dari Bank dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), saat krisis moneter pada 1998 lalu. Saat itu, banyak pemegang HGU kesulitan meneruskan usahanya karena kesulitan modal.
“Sehingga HGU yang perjualbelikan, apalagi menurut aturan jual beli HGU tak dilarang. Untuk itu, tak semua pemegang HGU memiliki Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) begitu juga pemegang IPK bukan otomatis pemegang izin pelepasan kawasan hutan,” kata Dr Sadino, SH, MH, Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, melalui keterangan tertulis yang diterima redaksisawitindonesia.com, pada Senin, (17 Januari 2023).
Menurut Sadino, karena investor mendapatkan HGU dari lelang atau membeli maka sebagian besar tidak memiliki IPK. Alasannya, HGU adalah hak atas tanah yang berarti bukan kawasan hutan, untuk apa mengurus IPK. “Ketelusuran regulasi penting karena tak semua lahan bisa dijadikan perkebunan. Apalagi, sebagian besar lahan sudah tak berhutan sehingga sulit menghitung Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR),” jelasnya.
Lebih lanjut, Sadino mempertanyakan darimana muncul hitungan kerugian sekian triliun rupiah tanpa melakukan penelitian, kondisi lahan saat itu saja masih sulit dibayangkan. Di masa lalu lahan hutan sudah terbagi habis dalam bentuk konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Apakah itu semua sudah bisa diungkapkan dalam persidangan korupsi. Hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu menghitung kerugian masa lampau.
“Hebat sekali, bisa menghitung kerugian di masa lampau dengan waktu cepat. Apakah ada teknologi yang mampu merekonstruksi, berapa luas areal berhutan, dan berapa volume kayunya? Sepengetahuan saya tidak ada. Hitungan itu pasti hanya berdasarkan asumsi. Bisa, menghukum orang berdasarkan asumsi belaka?,” tanya Sadino.
Tercatat, ada tiga sumber pendapatan negara yaitu penerimaan dari sektor perpajakan, pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah. Terkait dengan PNBP yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya hutan diatur Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan dikenal dengan Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang diatur dalam Pasal 23-39.
Sadino menjelaskan pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. “Meski demikian ada biaya provisi yang harus dibayarkan saat pengajuan izin melalui Provisi Sumber Daya Hutandan Dana Reboisasi,” jelasnya.
Sesuai dengan aturan yang ada, pengaturan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) diatur melalui UU No 41/1999 tentang Kehutanan sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
“Pasal 35 ayat (1), PSDH dan DR itu lahir karena adanya izin usaha pemanfaatan Kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemungutan hasil hutan bukan kayu yang diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah,” terang Sadino.
“Pemanfaatan hutan dan pengertian dari masing-masing izin diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 tahun 2004 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, yang diatur dalam Pasal 1 huruf b, j, k, l, m, n, o, p dan q,” imbuhnya.
Selain itu, ada PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, Pasal 1 angka 26 Provisi Sumber Daya Hutan adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang Izin sebagai pengganti nilai instrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
Terkait dengan makna Izin didalam PP 6 Tahun 2007 diberikan pengertian macam-macam izin. Misalnya, Pasal 1 angka 10. Izin pemanfaatan hutan, terdiri dari Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK), Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan/atau bukan kayu (IUPHHK), dan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan/atau bukan kayu (IUPHHBK) pada areal hutan yang telah ditentukan.
“Izin Pemanfaatan Kayu yang selanjutnya disebut IPK yang merupakan izin untuk memanfaatkan kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan lindung dengan izin pinjam pakai, dan dari APL yang telah diberikan peruntukan,” kata Sadino.
Menurut Sadino, sejatinya, izin Pemanfaatan kayu sebenarnya tidak sesuai dengan definisi izin usaha yang diatur dalam PP 34 tahun 2002 maupun PP 6 tahun 2007 karena pelepasan kawasan hutan bukan dalam kategori izin usaha sektor kehutanan.
“Terkait IPK diatur dalam Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri. IPK adalah izin untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan HPK, penggunaan dengan status pinjam pakai, tukar menukar, dan dari APL atau kawasan budidaya non kehutanan (KBNK). Tidak otomatis pemegang persetujuan pelepasan kawasan hutan adalah pemegang IPK.Disana terdapat kata pemohon yang “dapat” mengajukan IPK adalah: bisa perorangan, koperasi, BUMN, BUMD, BUMSI,” tegas Sadino.
“Sehingga dengan adanya ketentuan Pasal 110A dan 110B dalam UUCK dan Perpu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, para pelaku usaha akan dikenakan pembayaran PSDH dan DR. Disini berarti kesalahan ada pada Pemerintah yang disebabkan ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan dalam pemberian izin perkebunan.Maka diterbitkan PP 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari denda administratif di Bidang Kehutanan yang wajib menyelesaikan persyaratan sampai 2 November 2023,” lanjut Sadino.
Sementara, pada aturan sebelumnya yakni Permen Kehutanan Nomor: P.52/Menhut-II/2014 menjelaskan tentang Tata Cara Pengenaan, Pemungutan dan Penyetoran Provisi Sumber Daya Hutan, Dana Reboisasi, Penggantian Nilai Tegakan dan ganti Rugi Tegakan.