Pembangunan pabrik sawit yang dikelola untuk kepentingan petani memerlukan kemitraan. Pola ini dapat dilakukan supaya membangun harmonisasi dan sinergi antara perusahaan dengan petani.
Terdapat hubungan linier antara luas perkebunan sawit dengan jumlah pabrik kelapa sawit karena semakin luas lahan maka produksi TBS semakin tinggi sehingga butuh pabrik sawit dalam jumlah banyak. Sebagai contoh, Provinsi Riau memiliki luas lahan sawit 3,38 juta hektare dengan jumlah pabrik 181 unit.
“Dengan luasan besar maka produksi TBS dihasilkan lebih banyak. Alhasil orang lebih tertarik suntuk mendirikan pabrik sawit,” ujar Rusman Heriawan.
Ia mengatakan angka rata-rata nasional kapasitas terpasang pabrik sawit secara nasional rerata 47,39 ton TBS/jam. Dari sinilah dapat dilihat seberapa besar kebutuhan pabrik di suatu daerah. Pembangunan pabrik sawit merupakan gagasan bagus dengan mempertimbangkan sejumlah aspek dan tantangan. Definisi mini plant atau pabrik mini harus diperjelas lagi berapa kapasitas olah TBS-nya. “Jadi seberapa mini kapasitas pabrik sawit ini. Apakah kapasitas cukup 20 ton TBS per jam, ini ekonomis atau tidak. Ukuran kapasitas ini harus didiskusikan bersama. Dengan begitu kita tahu kesesuaian kapasitas,” ujar Rusman.
Berikutnya, dikatakan Rusman Heriawan, harus dilihat peluang berdirinya pabrik sawit yang akan dibangun petani di daerah tersebut. Pabrik sawit petani sebaiknya memperhatikan keberlanjutan dalam kegiatan bisnisnya. “Jangan sampai sebatas gunting pita. Namun setelah setahun berikutnya tidak kedengaran lagi,” imbuh Doktor Ekonomi Pertanian IPB ini.
Jadi, ada peluang tetapi harus dilihat juga seberapa kuat daya tahan petani ini. Pengalaman menunjukkan tidak mudah bertahan menjaga keberlangsungan pabrik.
Ketiga yaitu aspek keberlanjutan yang dilihat dari segi pabrik. Disinilah, petani harus mengkaji luas perkebunan sawit dan tingkat produksi TBS. Tujuannya dapat mengetahui keberlangsungan pasokan sawit ke pabrik. “Jangan sampai, pabrik mengolah buah. Satu minggu berturut-turut tetapi kesulitan ketika pasokan hilang. Dengan begitu kita dapat mencegah inefisiensi,” jelas Wakil Menteri Pertanian periode 2011-2014 ini.
Ia mengingatkan perlu juga diperhatian standar mutu CPO itu sendiri. Berikutnya adalah memperhatikan lokasi pabrik sawit yang akan dibangun petani. Dua hal perlu menjadi perhatian; lokasi dalam satu hamparan atau kebunnya terpencar-pencar karena berkaitan rantai pasok nanti.“Nantinya, apakah mendekati kebun sawit yang potensial. Atau didirikan pabrik berdekatan dengan tempat dimana CPO akan dijual.”
Lalu, aspek yang perlu diperhatikan adalah kesepakatan hasil rembug antar petani. Apakah pabrik dimiliki bersama petani setempat, maka perlu diperhatikan kepemilikan dan benefit.
Yang perlu diperhatikan adalah market. Rusman mencontohkan hasil produksi pabrik mau digunakan sendiri atau dijual ke industri lainnya. Disinilah perlu ada kesepakatan dalam bentuk kerjasama. “Karena kalau membuat pabrik, tapi tidak memikirkan penjualannya. Hal ini dapat menjadi masalah. Maka perlu dibangun jarigan pemasaran,” ungkapnya.
Ia juga mengusulkan perlu dipikirkan badan hukum pabrik sawit petani dan pengorganisasian bisnis. Diusulkan, manajemen pabrik bersifat professional dalam tata kelola. “Ketua koperasi tidak otomatis memimpin pabrik sawit,” pintanya.
Terakhir, diusulkan Rusman, disinilah studi kelayakan sangat dibutuhkan sebelum pabrik dibangun. “Jangan sampai sebatas semangat saja. Makanya, kita harapkan perlu ada contoh baik bagi pabrik sawit petani,” tuturnya.
Rusman menjelaskan bahwa berdirinya pabrik disebabkan ketidak puasan terhadap harga TBS petani yang tidak setara. Memang, tidak semudah itu membangun pabrik sawit oleh petani tanpa persatuan semua pihak.
Berbicara kemitraan terkait sawit dan di luar sawit, dijelaskan Rusman, ada istilah bapak asuh-anak asuh. Kendati tidak garis lurus. Sebagai contoh, saat berkunjung ke pabrik Semen Tonasa yang membina pabrik pengolahan kulit. Sekarang, masih berlangsung model kemitraan dalam skema PKBL. Konsepnya ini kemitraan tetapi lebih banyak dijalankan CSR. “Ini juga tidak sustainable dan bukan garis lurus juga,” ungkapnya.
Ia bercerita saat kunjungan ke Unilever yang membina petani kedelai di Yogyakarta dan Nganjuk. Kepentingan mereka disini untuk memastikan rantai pasok pembuatan kecap bahwa kedelai hitam dapat terjamin. “Dalam kerjasama inilah terdapat praktik tata kelola baik dan kepastian harga. Dalam pemahaman saya, ini perlu dijalankan yang saya yakini bisa sustainable,”ungkapnya.
Di sektor sawit, ada pola PIR-BUN dan PIR-Trans berjalan bagus. Ada benefit diterima kedua belah pihak baik petani dan perusahaan. “Pola ini berjalan bagus di generasi pertama,” jelasnya.
Memasuki generasi kedua petani terjadi persoalan ketidakpuasan di kedua belah pihak. Akibatnya, banyak petani plasma memisahkan diri dengan inti (perusahaan). Dalam pemahaman berkaitan tipe petani sudah terbagi tiga model. Pertama adalah petani plasma yang mempunyai hubungan inti plasma dengan perusahaan. Adapula petani eks plasma dan petani swadaya.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah sawit Indonesia Edisi 107)