Kembalikan Kesuburan Tanah dengan Cacing
Mengembalikan populasi cacing yang bermanfaat bagi kesuburan tanah untuk pertanian organik yang ramah lingkungan.
Bagi sebagian perempuan binatang melata (cacing) dianggap hewan yang menjijikan, pasalnya cacing hidup ditanah. Dan, kemunculan cacing terkadang membuat histeris bagi perempuan yang sensitif ketika melihat cacing. Tetapi, tidak bagi Dr. Ni Luh Kartini.
Bahkan, perempuan asal Bali ini meraih gelar Doktor Ilmu Tanah dengan mempelajari cacing sebagai bahan penelitian disertasinya. “Saat saya mengajukan penelitian tentang cacing, tidak ada dosen dan promotor yang mau membimbing karena tidak mengerti tentang cacing. Soalnya, waktu itu mulai berkembang rekayasa genetik di sektor pertanian,” kenang Ni Luh Kartini saat dihubungi via sambungan seluler.
Namun, atas kegigihannya dan mampu meyakinkan dosen dan promotor, akhirnya Kartini menyelesaikan studi S3 Ilmu Tanah dari Universitas Padjajaran, Bandung kembali menjadi Dosen di Universitas Udayana, Bali.
Selanjutnya, Kartini menjelaskan ketertarikannya terhadap binatang melata yang hidup di tanah, pada tahun 70-an. Bermula saat dirinya kecil mengembala bebek di sawah, tugas dari orangtuanya. “Tugas saya jalankan setelah pulang dari sekolah. Sebanyak 100 ekor yang dipelihara saat itu digiring ke sawah untuk cacing menjadi makanan bebek,” jelasnya, sambil mengenang masa kecilnya.”
Tetapi, sejalan dengan berkembangnya sektor pertanian, pada dekade 70-an pertanian di Bali mulai masuk tahap modernisasi. Petani mulai menggunakan pupuk kimia (urea), subsidi dari pemerintah dan meninggalkan pupuk organik.
Kondisi tersebut mengakibatkan cacing sebagai pakan bebek banyak yang mati dan “petaka” bagi bebek yang dipelihara peternak, termasuk bebek yang dipelihara orangtua perempuan kelahiran Kabupaten Buleleng (Bali), pada 21 April 1962.
Kejadian itu menjadi pertanyaan bagi Kartini hingga sekolah di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), dan berupaya mempertanyakan pada orangtua, Guru dan Sarjana Muda yang saat itu masuk desa. Namun, saat itu belum ada jawaban sampai akhirnya mendapat saran dari Sarjana Muda, selepas lulus SMA untuk melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi guna mencari jawaban atas kegelisahannya.
“Sejak saat itu, saya mengucapkan kaul pada Tuhan, Ratu Betara bang je tityang gelar insinyur tityang kal ngidupang cacing (ya Tuhan berikan hamba gelar insinyur supaya bisa menghidupkan cacing),” ujar Kartini.
Mengembalikan populasi cacing yang bermanfaat bagi kesuburan tanah untuk pertanian organik menjadi harapan dan cita-cita Kartini selepas meraih gelar Sarjana di Universitas Udayana. Hingga akhirnya, setelah meraih gelar Doktor (1997) berhasil membuat Pylot Project pertanian terpadu mengaplikasikan ilmunya yang didapat selama melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
“Di Bali, kami sudah mengembangkan pertanian terpadu (organik), di situ ada sapi, biogas, cacing tanah, ikan, dan lebah. Pertanian ini menjadi agro wisata. Kami mengerjakan pertanian terpadu sejak 1997, selepas meraih gelar Doktor bidang Cacing. Sejak 1998, kami menggarap Pylot Project pertanian terpadu untuk mewujudkan pertanian yang secara ekonomi sangat menguntungkan karena bisa mandiri pangan, energi dan berdaulat,” kata Kartini.
Dijelaskan Kartini, berawal dengan memanfaatkan cacing sebagai pabrik pupuk alami, pertanian terpadu dapat berjalan. “Jika lahan/tanah sudah ada cacingnya maka lahan itu subur. Kalau sudah ada cacingnya, PH tanah pasti mendekati 7 karena cacing memiliki kelenjar kapur yang bisa meningkatkan PH dan menormalkan PH tanah. Cacing hidup karena bahan organisme yang ada pada tanah cukup. Jadi, cacing bisa menjadi indikator kesuburan tanah,” jelasnya.
Namun, atas dasar meningkatkan produktivitas pertanian tak jarang bahkan hampir semua sektor pertanian menggunakan pupuk kimia. Yang dipenggunakan dalam jangka panjang berdampak merusak kesuburan tanah dan mengakibatkan matinya mikro organisme tanah termasuk cacing yang berfungsi sebagai pabrik pupuk alami.
“Tanah yang sudah terkena pupuk kimia terlalu banyak mengakibatkan kematian cacing karena cacing sangat sensitif. Jika tanah mulai tercemar cacing yang akan mati terlebih dulu, ini menjadi indikator tanah sudah tercemar. Cacing berfungsi untuk menyerap racun secara alami, tetapi jika racun (pupuk kimia) terlalu banyak maka cacing yang mati,” kata Kartini.
Penggunaan pupuk kimia terlalu tinggi menjadi penyebab berkurangnya populasi bahkan kepunahan cacing. “Sebagai contoh, di lahan pertanian di Bali yang menggunakan pupuk kimia sudah tidak ada cacing tanah kecuali di lahan pertanian organik,” imbuh Kartini.
Hampir di lahan pertanian tak terkecuali di perkebunan sawit cacing tanah sangat diperlukan, untuk kesuburan tanah. Keberadaan cacing yang muncul di permukaan tanah menjadi indicator kesuburan tanah terjaga.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 113)