Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diharapkan dapat menjadi stimulus terhadap perubahan struktur ekonomi yang mampu menggerakan semua sektor ekonomi.
Dalam kondisi normal tidak ada pandemi, harapannya UUCK bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi 5,7 persen sampai 6 persen, melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi, peningkatan produktivitas dan peningkatan volume ekspor.
Pada masa pandemi Covid-19 tetap memberikan sumbangan signifikan terhadap perekonomian nasional. Industri kelapa sawit mampu menyerap tenaga kerja 16,2 juta pekerja langsung maupun tidak langsung dan menyubang sekitar 3,5 persen terhadap PDB nasional.
Untuk itu, pemerintah berkomitmen harus mengelola perkebunan kelapa sawit dengan efektif, efisien, adil dan berkelanjutan demi mendukung perekonomian nasinal. Pemerintah perlu memastikan usaha perkebunan kelapa sawit layak secara sosial, ekonomi dan lingkungan yang sesuai peraturan perundangan.
Komitmen pemerintah Indonesia dalam mencapai tujuan perkebunan berkelanjutan tersebut yang terlihat dari Peraturan Presiden No.44 Tahun 2020 untuk mengakomodir sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia.
Dalam pelaksanaannya baik perkebunan rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan negara wajib memiliki sertifikat ISPO. Sedangkan khusus perkebunan rakyat diberikan masa transisi lima tahun guna memnuhi kritreria dan indikator ISPO.
“Sertifikat ISPO ini diselenggarakan oleh lembaga independen dan dilaksanaan secara transparan. Penyelengaran sertikasi ISPO bertujuan untuk memastikan dan meningkatkan pengelolaan sawit sesuai kriteria ISPO,” ujar Musdhalifah saat menjadi pembicara Dialog Webinar bertemakan “Bedah UU Cipta Kerja Bagi Sawit Borneo Berkelanjutan”, Kamis (6 Mei 2021) yang diselenggarakan oleh Majalah Sawit Indonesia dan Borneo Forum.
Kedua diharapkan mampu meningkatkan keberterimaan dan daya saing sawit Indonesia di pasar global. Ketiga, meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca. Pelaksanaan ISPO ini diharapkan dapat diwujudkan melalui kriteria dan indikator yang dijelaskan dalam Permentan No.38 Tahun 2020 yang memuat 37 kriteria dan 177 indikator.
Musdhalifah mengatakan, pihaknya telah berupaya meyakinkan, ISPO pun tidak kalah dengan RSPO. Bahkan ISPO memenuhi sesuai dengan peraturan dan ketentuan penggunaan lahan di dalam negeri. Salah satu yang utama adalah legalitas lahan. “Saya ingin performance dari penerima sertifikat ISPO dari LS ISPO yang sudah terakreditasi bisa kita tampilkan sebagai perkebunan kelapa sawit yang memang sudah menerapkan prinsip dan kriteria berkelanjutan secara global,” tuturnya.
Musdhalifah menekankan, ISPO memenuhi prinsip dan kriteria pembangunan keberlanjutan secara global. “Dengan ISPO, kita bisa mencapai 12 target-target pencapaian SDGs, dan ini semua dapat tergambar dari pemenuhan 7 prinsip utama ISPO,” terangnya.
Ia pun memandang penting penguatan ISPO karena dapat memperbaiki tata kelola sertifikasi ISPO, menyempurnakan prinsip dan kriteria sertifikasi ISPO, serta meletakkan fungsi Komite Akreditasi Nasional dalam sistem sertifikasi ISPO.
Indonesia sudah berkomitmen untuk mempertahankan kontribusi dari kelapa sawit ini. Salah satunya dengan kebijakan peremajaan sawit rakyat yang ditargetkan 2,4 juta ha perkebunan rakyat dapat dilakukan replanting hingga tahun 2024.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk keberlangsungan sawit Indonesia tidak hanya peningkatan produktivitas, penerapan ISPO dan PSR. Tetapi dengan regulasi untuk menciptakan iklim investasi sawit melalui UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 115)