Menanggapi tingginya harga gas yang menjadi hambatan bagi pelaku industri di Indonesia, Dr. Kurtubi, mantan anggota Komisi VII DPR RI (2014-2019) mengatakan ada yang keliru dalam pengelolaan sektor minyak dan gas. Hal itu disebabkan UU Migas tahun 2001 yang bertentangan dengan konstitusi.
Ia mengungkapkan fakta ini saat menjadi menjadi pembicara Diskusi “Menanti Implementasi Perpres Nomor 40 Tahun 2016 Bagi Dunia Usaha” yang diselenggarakan APOLIN dan Majalah Sawit Indonesia didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan KelapaSawit (BPDP-KS), Jakarta, pada pertengahan Februari 2020.
Menurutnya, setelah pembubaran Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi ternyata digantikan oleh SKK Migas. Bisnis migas tidak bisa Goverment to Goverment tetapi harus melalui SKK Migas. “Di negara ini (Indonesia), industri migas melanggar konstitusi dan masih berjalan hingga saat ini. Maka, saya katakan ini kacaubalau. Solusinya, kembalikan SKK Migas sesuai konstitusi dengan menghormati keputusan MK,” ujar Dr. Kurtubi.
Selanjutnya, ia menambahkan pemerintah tidak boleh memegang kontrak dan mengelola Migas. “Pemerintah fungsinya memegang kebijakan dan regulator. Negara kalau berbisnis lewat BUMN, misalnya Pertamina,” tambahnya.
“Kita butuh investor asing untuk memudahkan industri gas, jangan dibuat birokratis seperti sekarang ini, karena dikelola oleh pemerintah. Terkait dengan tingginya harga gas, karena pengawasan tata kelola sektor migas melanggar konstitusi. Maka, solusinya UU Migas harus dicabut atau disempurnakan sehingga tidak lagi melanggar konstitusi, pengelolaan migas harus simpel tidak boleh berbelit-belit. Jadi yang mengelola itu harus perusahaan negara,” jelas Dr. Kurtubi.
Untuk dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta untuk bisa menjadi industri maju pada 2045 mendatang. “Mustahil bisa tercapai tanpa ada industri alisasi secara masif. Industri alisasi harus didorong agar pertumbuhan ekonomi bisa lebih cepat. Sudah puluhan tahun pertumbuhan ekonomi,” Dr. Kurtubi.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi stag hanya diangka 5%. Untuk bisa pertumbuhan ekonomi tinggi mencapai 8-9% baru bisa menjadi negara industri maju. Kalau kita menginginkan menjadi negara industri maju tidak hanya visi presiden. “Karena kita ingin hidup sejahtera dan pendapatan tinggi. Lapangan pekerjaan bisa tercipta karena adanya industri.”
“Maka, Saya menyarankan untuk mengembangkan industri-industri baru berbasis lokal untuk mengembangkan sumber daya lokal dan mengembangkan industri hilir. Misalnya, di negara pengimpor Konsentrat, konsentrat dikembangkan oleh industri hilir. Misalnya gas, tidak hanya dibakar menjadi listrik. dan, gas bisa digunakan untuk mendukung industri Petrokimia yang nilainya lebih tinggi,” kata Dr. Kurtubi.
“Jadi kewajiban pemerintah mendorong semua jenis industri, yang sudah ada dipelihara dan dikembangkan, industri yang belum ada dilahirkan atau diciptakan untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru,” tambahnya.
Minyak dan Gas walau tidak secara spesifik tertulis dalam konstitusi tetapi kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai negara dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Itu ada dalam undang-undang. Ini menyangkut sumber daya alam, menyangkut aset atau harta
Minyak bumi, gas, batu bara dan mineral yang ada di perut bumi tidak bisa diperbaharui dan bisa dieksplorasi dan ditumbuhkan cadangannya dan dibuktikan dengan riset. Kekayaan yang ada di perut bumi tidak hanya dikuasai negara tetapi juga dimiliki. pada 40 tahun lalu, industri gas belum ada di Indonesia. LNG dibuat dengan harga jual yang bagus dan pada dekade 80-90an, sektor migas merajai perekonomian nasional, 80% APBN dari sektor Migas.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 101)