Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengajak seluruh pemangku kepentingan industri minyak kelapa sawit bersama-sama menjaga keberlangsungan kinerja ekspor minyak kelapa sawit yang mengalami tantangan dan hambatan perdagangan, terutama di masa pandemi Covid-19.
“Keberlangsungan pasar ekspor industri minyak kelapa sawit penting dijaga agar tetap menjadi sumber penghidupan yang layak, khususnya bagi jutaan petani sawit di tanah air,” ujar Jerry Sambuaga.
Menurutnya kendati kondisi perdagangan internasional masih sangat terdampak pandemi Covid-19 dan ekspor komoditas sawit juga mengalami beberapa hambatan, kita harus tetap optimis terhadap prospek ekspor sawit Indonesia kedepan. Pasalnya sampai saat ini, minyak sawit masih merupakan pilihan paling ekonomis sumber minyak nabati dunia sehingga minyak sawit menjadi pilihan utama substitusi minyak nabati lainnya.
Saat ini, hambatan bagi kinerja ekspor sawit saat ini datang dari situasi pandemi Covid-19 dan dari pasar ekspor beberapa negara di dunia. Dampak pandemi bagi ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya ditandai dengan penurunan ekspor bulanan sejak awal 2020 setelah sebelumnya mengalami kenaikan ekspor secara nilai dan volume pada akhir 2019.
“Pada Januari – April 2020, kontribusi ekspor CPO dan produk turunannya mencapai 12,4 persen dari total ekspor non migas Indonesia dengan nilai mencapai USD 6,3 miliar. Kinerja ekspor dibeberapa pasar utama sawit juga cukup bervariasi. Meskipun demikian, kita perlu mewaspadai adanya tren penurunan pangsa ekspor sawit dalam ekspor non migas kita dalam tiga tahun belakangan ini,” lanjut Wamendag.
Kinerja ekspor sawit Indonesia di pasar India masih menunjukkan peningkatan baik secara nilai mau pun volume. Volume ekspor sawit ke India meningkat 11,2 persen (YoY) menjadi 1,64 juta ton dan nilainya tumbuh 55,3 persen (YoY) menjadi USD 1,09 miliar. Di Pakistan, nilai ekspor sawit juga meningkat cukup besar sebesar 22,3 persen (YoY) menjadi USD 452,7 juta, meskipun secara volume turun 3,0 persen menjadi 691,5 ribu ton.
Sebaliknya, pasar utama lain seperti Tiongkok dan Belanda mengalami penurunan. Ekspor sawit ke Tiongkok secara volume turun 54,3 persen (YoY) menjadi 879 ribu ton dan secara nilai turun 48,5 persen (YoY) menjadi USD 497,4 juta. Begitu pula ekspor sawit ke Belanda volumenya turun 27,9 persen (YoY) menjadi 895,4 ribu ton dan nilainya turun 9,3 persen (YoY) menjadi USD 348,3 juta.
Namun kita mewaspadai adanya tren penurunan ekspor sawit dalam tiga tahun belakangan ini. Adanya virus corona (Covid-19) pada akhir tahun 2019 tidak hanya berdampak buruk terhadap aspek perekonomian tak terkecuali sektor perdagangan. Ini juga turut dirasakan oleh ekspor CPO dan produk turunannya.
“Permintaan dunia terhadap minyak sawit sebelum terjadi pandemi Covid-19 permintaan pada 10 pasar utama perlu mendapat perhatian khusus. Beberapa pasar mengalami tren penurunan impor sawit dalam lima tahun terakhir,” ujar Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Tantangan ekspor sawit juga datang dari berbagai hambatan ekspor di pasar dunia. Produk biodiesel Indonesia di Pasar Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa terhambat isu anti dumping dan anti subsidi dengan total margin 126,97—341,38 persen, serta pengenaan bea masuk anti subsidi oleh Uni Eropa dengan rentang 8—18 persen. Merespons hal tersebut, kepada Pemerintah AS, Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan banding di Badan Penyelesian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan sampai saat ini masih dalam proses di Pengadilan Perdagangan internasional AS. Sedangkan kepada Pemerintah Uni Eropa, Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah pembelaan melalui forum dengar pendapat dan penyampaian sub misi dengan Uni Eropa.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 104)