Meskipun, program biodiesel bermanfaat dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan. Namun pengembangan biodiesel di Indonesia tetap menghadapi tantangan.
Program Biodiesel yang dijalankan pemerintah sejak 2008 melalui Permen ESDM No 32 dengan campuran minyak sawit (B-2,5) hingga 2019 sebesar 30% (B-30) terus berkembang dan lebih sustain. Terlebih dengan dibentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), pada 2015.
Seperti dikatakan Dr. Fadhil Hasan, Peneliti Senior INDEF, saat menjadi pembicara pada Dialog Webinar, bertema “Masa Depan Biodiesel Indonesia: Bincang Pakar Multi Perspektif” yang diadakan Majalah Sawit Indonesia, Rabu (16 Desember 2020).
Dikatakan Fadhil, sebelumnya untuk insentif/subsidi diambil dari APBN yang komitmennya tahunan. “Namun, setelah 2015 dipungut dari para eksportir dan produk turunannya yang dikumpulkan oleh BPDPKS. Hal ini yang memungkinkan program mandatori blending (campuran) hingga kini mencapai B30 bisa berjalan dan akan terus ditingkatkan B40 dan seterusnya,” katanya.
Selanjutnya, ia mengatakan program B30 bermanfaat bagi perekonomian nasional. Di antaranya, penghematan devisa, peningkatan nilai tambah CPO menjadi Biodiesel, mempertahankan tenaga kerja (petani sawit), dan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). “Bukan saja perekonomian tetapi juga lingkungan dan sosial terutama petani sawit serta pengurangan emisi gas rumah kaca,” lanjut Fadhil yang dikenal sebagai peneliti.
Seperti diketahui, bahan bakar nabari (BBN) Biodiesel adalah hasil pemrosesan dari Crude Palm Oil (CPO). Untuk itu, kata Fadil, kita harus mengkaitkan flow produksi CPO dan flow produksi Biodiesel karena biodiesel ini hasil dari pemrosesan CPO. “Semakin besar penggunaan biodiesel maka CPO tentu akan lebih besar. Sehingga harus terintegrasi dari hulu dan hilirnya,” ucapnya.
“Sementara dari sisi suplai CPO menghadapi restriksi yaitu moratorium, konversi lahan hutan primer dan lahan gambut untuk perkebunan sawit. Jadi, sebenarnya dari sisi hulu menghadapi ekspansi, sementara dari sisi hilir permintaan CPO untuk program Biodiesel,” kata Fadhil.
Fadhil mengatakan kalau memang kita memiliki komitmen dengan program Biodiesel dan ke depan akan terus ditingkatkan blending-nya, maka ke depan akan terjadi persoalan. Selama ini penggunaan CPO untuk di dalam negeri, bersifat switching dalam artian ekspornya dikurangi.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 111)