Dalam pembangunan pabrik kelapa sawit skala kecil diperlukan konsep baru, tidak hanya menghasilkan minyak sawit mentah (CPO). Melainkan dapat berkolaborasi dengan produk industri pangan dan kesehatan.
“Pembangunan PKS mini kedepan harus memperhatikan aspek pasar dan produk hilirnya. Resources yang ada ini menjadi produk akhir lokal di kabupaten atau provinsi,” ujar Donald Siahaan Peneliti Utama Pengolahan Hasil dan Mutu Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).
Dia mengatakan, Pulau Kalimantan masih impor minyak goreng dari Pulau Jawa. “Kenapa tidak dibuat pabrik minyak goreng di daerah tersebut,” tandasnya
Selan itu, potensi produk hilir yang bisa dikembangkan berupa produk shortening dan margarin untuk bahan baku roti. “Roti sudah menjadi budaya kuliner Indonesia, namun di Sumatera dan Kalimantan sebagian besar bahan bakunya impor dari luar daerah,” jelas Donald.
Sementara sebagian bahan baku diimpor salah satunya cokelat. Pada hal, kata dia, cokelat yang berdar di Indonesia bahan bakunya berasal dari perkebunan rakyat.“Kita ekspor minyak sawit ke China, lalu kita impor dalam bentuk Cocoa Butter Substitute (CBS) untuk pembuatan cokelat di Indonesia. Ceres tergantung impor CBS dari Tiongkok, dan negara tersebut tidak memiliki perkebunan sawit,” terang dia.
Menurut dia, potensi ini bisa di garap agar Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) bidang sawit. Ini bukan menjadi pesaing perusahaan besar, tetapi bisa mengisi ruang kosong dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal. “Biarlah perusahaan bermain di partai besar dan ekspor. Sedangkan petani sawit segmentasinya masuk kelokal,” terang dia.
Ia mencontohkan saat peremajaan (replanting) pohon kelapa sawit, air nira-nya dapat dimanfaatkan untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula merah. Batang sawit memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Selain kayunya, batang sawit dapat menghasilkan nira yang dapat digunakan dalam pembuatan gula merah sawit.
Manfaat lainnya adalah pemanfaatan batang sawit menjadi nira dapat mengurangi serangan hama kumbang tanduk (oryctesrhynoceros ) karena nira sawit mengurangi sari pati pada batang sehingga batang sawit tidak dijadikan sebagai sumber makanan dan habitat dalam siklus hidupnya. Kayu sawit yang diambil niranya akan menghilangkan kadar air dan menghasilkan kualitas kayu yang lebih baik.
Asumsinya adalah produksi nira sawit per pohon per ha dapat mencapai 5-7 liter per hari. Dengan perhitungan tingkat Rendemen gula merah sawit 20-23% sehingga dapat menghasilkan produksi gula sebesar 1,2 kg– 1,75 kg/pohon/hari selama fase produksi 1-2 bulan.
Donald menegaskan bahwa petani masuk segmen pasar dalam negeri bukan berarti mengharamkan perkebunan sawit rakyat berorientasi ekspor. “Kalau sudah cukup kuat tidak masalah, seperti peluang minyak sawit merah bisa di produksi oleh korporasi petani yang ekspor keluar negeri. Manfaat minyak sawit merah lebih baik ketimbang minyak goreng, terutama menyangkut isu isu kontaminan 3-monochlorpro-pandiol ester (3-MCPD Ester) dan glycidol esters (GE) di Uni Eropa,” kata Donald.
Industri hilir memang kapasitas produksinya besar seperti pabrik oleokimia dan pabrik minyak goreng. Akan tetapi itu bisa dibuat dalam skala kecil apa bila konsepnya berubah. “PKS konsepnya harus diubah agar biaya produksi bisa ditekan dan buah petani dengan keragam kualitasnya bisa terserap oleh industri,” kata dia.
Kedepan minyak sawit didorong untuk menghasilkan produk minyak sawit merah, CBS, shortening, margarin, salad oil dan produk cokelat. “Teknologinya bisa kita sederhanakan dan dapat dikerjakan dalam skala kecil untuk menghasilkan bahan baku roti, mesis dan cokelat,” jelas Donald.
Tantangan kedepan pembangunan PKS mini harus mempertibangkan skala ekonomis (economies of scale), karena kapasitas 10 ton hingga 20 ton/jam. “Itu sulit bersaing dengan biaya produksi PKS dengan kapasitas di atas 30 ton/jam,” ujar dia.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 107)