JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pertanyaan tendesius Sawit Watch yang ditujukan kepada Prof.Yanto Santosa, Guru Besar IPB, mendapatkan kritikan dari kalangan akademisi. Pasalnya, argumen Sawit Watch tidak disertai data kuat untuk meng-counter penelitian Yanto Santosa bahwa sawit bukanlah pemicu utama deforestasi.
“Direktur Eksekutif Sawit Watch ibarat dalam pepatah Sunda, diri sorangan nu ntek neupi, batur nu dicarekan (dirinya sendiri yang bodoh, tapi orang lain yang dia kata-katai),” kata Ricky Avenzora, Pengamat Lingkungan dan Kehutanan IPB, dalam layanan pesan WhatsApp, Kamis (23/3).
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, dalam siaran persnya mempertanyakan kredibilitas dan kompetensi Prof Yanto Santosa yang menyimpulkan kelapa sawit bukanlah aktor utama deforestasi. perkebunan kelapa sawit di Indonesia bukan hanya di Riau, dari Aceh sampai dengan Papua, sekarang berlomba-lomba menanam sawit dengan dukungan penuh dari pemerintah. “Sample dari satu provinsi digeneralisasi untuk semua perkebunan sawit bukan penyebab deforestasi, maka wajar jika kami mempertanyakan kredibilitas peneliti dan hasil penelitiannya,” ujarnya.
Ricky menyebutkan ada empat isu penting yang dapat dikenali dari polemik-arogan oleh Direktur Eksekutif Sawit Watch tersebut. Pertama, isu tentang “statistical representativeness” satuan contoh yang dilakukan dalam penelitian terkait, kedua, isu tentang definisi dan pemaknaan nomenklatur “hutan”. Ketiga, isu tentang validitas data statistik dan orientasi penggunaannya, serta keempat osu tentang orientasi dalam berpolemik.
Menurut Ricky, dalam konteks aspek ” keterwakilan” satuan contoh dalam pandagannya tidak satu orang pun meragukan kompetensi Prof. Yanto Santosa dalam mendesain aspek “keterwakilan” dalam studi tersebut. “Beliau (Prof Yanto) majoring dalam bidang dinamika populasi, yang sarat dengan kompetensi matematik dan statistik pada ranah advance,” jelasnya.
Supaya Direktur Eksekutif Sawit Watch bisa sedikit melek statistik, menurut Ricky, barangkali perlu membuka buku lagi tentang cluster-sampling, stratification sampling, quota sampling, serta “complex judgemental sampling”. Ini artinya sebuah desain atas suatu masalah besar yang harus diteliti dalam berbagai keterbatasan sumberdaya yang ada.
Dalam konteks “complex judgemental sampling”, maka Riau sebagai provinsi dengan luasan perkebunan sawit terbesar. Menurut Ricky sangatlah tepat dan logis untuk dipilih sebagai lokus penelitian “complex judgemental sampling”. Lalu hasilnya bisa dikategorikan valid dalam penarikan kesimpulan secara makro.
Ricky melanjutkan bahwa dalam konteks fenomologi, hasil penelitian tersebut bersifat objektif dan jauh lebih baik dari berbagai klaim subjektif sebagaimana dijalankan LSM-hipokrit. Sedangkan dalam ruang berfikir positifisme kesimpulan penelitian itu bisa dikategorikan valid.
Dalam konteks pemaknaan “hutan” sebagai “ecological-nomenclature”, maka ada pertimbangan yang tidak dapat dilepaskan terkait Teori Suksesi, Teori Dinamika Populasi, dan berbagai teori mengenai siklus dalam suatu ekosistem, serta dinamika aspek waktu yang berlaku di dalamnya. Atas azas ini, maka coba minta pada semua LSM-hipokrit apakah mereka punya bukti keberhasilan dan efektifitas kinerja eco-centrisme yang mereka lakukan selama ini.
“Jika tidak tidak punya, maka mereka sesungguhnya harus berterima kasih kepada petani dan perusahaan sawit yang telah bsusah payah merubah ” hutan terlantar” yang hanya didominasi vegetasi semak belukar menjadi lahan yang lebih produktif secara ekonomi,” jelasnya.
Menurut Ricky, dalam konteks “hutan” sebagai nomenklatur perundang-undangan dan kebijakan, maka tidak dapat menafikan dikotomi yang telah ditetapkan, yaitu : Hutan Konservasi (HK), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Konversi serta Areal Penggunaan Lain (APL). “Mempermasalahkan pembangunan kebun sawit di areal Hutan Konversi dan APL adalah salah satu bentuk kemunafikan belaka,” ujarnya.
Berkaitan data luasan kawasan dan berbagai bias yang ditimbulkannya adalah bukan kesalahan petani atau perusahaan sawit, melainkan kesalahan pemerintah pusat yang hingga saat ini masih terus gagal mengelaborasi Tata Guna Hutan Kesepatakan dan mewujudkan Single Map Policy.
“Jika telisik dan direnungkan, maka berbagai kesalahan pemerintah tersebut saya duga kuat karena sesat konsep yang diberikan oleh LSM-hipokrit yang menggrogoti pemerintah melalui modus sleeping with enemy,” ungkapnya.
Fokus pada pemaknaan 3 pilar konservasi yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan — maka tegakan sawit yang ditanam rakyat dan berbagai perusahaan lebih membumi dan bermakna daripada “artificial concepts” yang dijual maupun dijalankan LSM-hipokrit selama ini.
Jika mereka (LSM) mmg ingin berjuang utk kesejahteraan rakyat, maka bantulah para petani sawit utk menjadi benar-benar sejahtera dan lebih makmur lagi. Jadilah institusi yang mampu menjembatani berbagai kesenjangan dlm hal harga, dalam aspek keharmonisan usaha, serta banyak hal lainnya yang masih menjadi bagian dari bias suatu pembangunan,” jelasnya.