Tahun ini, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) memproyeksikan produk downstream sawit kuasai 51% dari total volume ekspor produk sawit. Faktor penopang utama berasal dari kebijakan Bea Keluar CPO (BK CPO).
Bagi pengusaha hilir kelapa sawit, tahun ini menjadi tahun yang menggembirakan untuk kegiatan bisnis mereka. Dukungan pemerintah terhadap produk turunan sawit sangat luar biasa sehingga terus menggeliat semenjak akhir tahun lalu. Terutama melalui penerapan skema tarif BK CPO yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128 Tahun 2011. Indikasinya dapat terlihat dari tingkat utilisasi kapasitas refineri dan ekspor produk hilir sawit.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia memaparkan sebelum kebijakan BK CPO diterbitkan pemerintah proyeksi terhadap data ekspor dan konsumsi terbilang biasa-biasa saja. Pada pertengahan 2011, GIMNI yang menaungi 28 perusahaan hilir sawit membuat proyeksi konsumsi CPO di dalam negeri diperkirakan tidak melebih 1,938 juta ton sepanjang Januari sampai Mei 2012. Namun, asumsi ini berubah pasca pemberlakuan BK CPO baru yang meringankan tarif ekspor produk hilir sawit.
Menurut Sahat Sinaga, penggunaan CPO untuk kepentingan domestik sudah mencapai 2,165 juta ton mulai dari Januari hingga Mei 2012. Pada tahun ini, konsumsi CPO diproyeksikan tumbuh 12% atau sekitar 7 juta ton daripada tahun kemarin berjumlah 6,2 juta ton.
Angka kenaikan konsumsi CPO ini sejalan dengan bertambahnya kapasitas terpakai (utilisasi) refineri di Indonesia. GIMNI mencatat utilisasi tahun ini sekitar 74,2% atau 18,034 juta ton dari total kapasitas produksi mencapai 24,3 juta ton. Sebagai perbandingan, tingkat pemakaian CPO tahun kemarin saja baru 67,5% atau 14,388 juta ton dari kapasitas produksi yang seluruhnya berjumlah 21,3 juta ton.
Peningkatan utilisasi ini berdampak positif kepada ekspor produk turunan sawit seperti refined oil, oleokimia dan biodiesel. Dari data yang dirilis GIMNI, ekspor produk hilir sawit periode Januari-Mei telah mencapai 4,276 juta ton atau 49,6% dari total ekspor produk minyak sawit berjumlah 8,622 juta ton. Sementara itu, ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil) sebesar 4,346 juta ton.
Jika dibandingkan year on year (yoy), volume ekspor produk hilir sawit sampai Mei tahun ini tumbuh 29,2% menjadi 4,276 juta ton dibandingkan periode sama kemarin berjumlah 3,309 juta ton.
“Jadi, BK CPO ini efektif mendorong produk hilir sawit untuk penjualan ekspor. Sudah saatnya, industri dalam negeri yang menikmati nilai tambah dari sawit bukan negara lain,” kata Sahat kepada SAWIT INDONESIA.
Pengakuan serupa datang dari kalangan produsen biofuel yang mengakui efektivitas BK CPO. Paulus Tjakrawan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) menjelaskan aturan BK CPO dapat mendorong kegiatan di sektor hilir sawit karena harga minyak sawit mentah yang terkena pajak ekspor tinggi. Dampaknya, produksi biofuel tahun ini diproyeksikan tumbuh 61% menjadi 2,1 juta ton dibandingkan tahun lalu berjumlah 1,28 juta ton.
Kenaikan produksi ini, lanjut Paulus,berimbas kepada ekspor biodiesel tahun ini naik 36,3% menjadi 1,5 juta kiloliter dari tahun lalu yang berjumlah 1,1 juta kiloliter. Langkah ini diambil karena penyerapan biodiesel di pasar domestik masih rendah sehingga mesti dialihkan kepada pasar ekspor seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Dengan kondisi seperti ini, ekspor produk hilir sawit tahun ini dapat melampui jumlah ekspor minyak sawit mentah (CPO). Sahat Sinaga memproyeksikan ekspor produk minyak sawit tahun ini dapat mencapai 21,635 juta ton yang komposisinya 11,034 juta ton produk downstream (51%) dan CPO sebanyak 10,601 juta ton (49%). Sebagai perbandingan pada 2011, total ekspor produk minyak sawit 20,473 juta ton yang terdiri dari produk hilir sebesar 8,177 juta ton (39,9%) dan 12,295 juta ton CPO (60,1%).
Susanto, Ketua Bidang Pemasaran Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengakui ekspor produk turunan semakin meningkat dengan skema BK CPO sekarang ini, karena insentif yang diberikan kepada produk hilir lebih menguntungkan daripada CPO. Sehingga komposisi ekspor produk turunan sawit tahun ini sekitar 58%-60% sementara ekspor bentuk CPO mencapai 40%-42%. GAPKI memproyeksikan ekspor produk sawit tahun ini 18 juta ton.
“Kondisi seperti ini akan mendorong banyak pengusaha yang membangun industri hilir sawit dalam dua tahun mendatang,” papar Susanto kepada SAWIT INDONESIA.
Kendati demikian,dia meminta pemerintah juga mempertimbangkan sektor hulu sawit yang terpukul dengan kebijakan ini . Pasalnya, selisih antara produk hulu dengan hilir berkisar 8%-10% yang berpotensi menurunkan daya saing industri.
Sahat Sinaga meminta pemerintah tetap berkomitmen membangun industri hilir sawit lewat insentif seperti BK CPO. Pengalaman yang terjadi terhadap industri biodiesel nasional beberapa tahun lalu sebaiknya tidak terulang, ketika pengusaha sedang ekspansi membangun pabrik tetapi ditengah jalan dukungan pemerintah kembali melemah.(Amri)