JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) mengumpulkan kalangan peneliti dan akademisi untuk memperkuat argumen pemerintah Indonesia menolak rancangan peraturan Komisi Eropa yaitu Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU Renewable Energy Directive (RED) II. Sikap resmi DMSI telah dikirimkan ke dalam laman Uni Eropa untuk memberikan feedback terhadap RED II yang menggunakan pendekatan High and low Indirect Land-Use Change (ILUC).
“Kami telah memberikan feedback ILUC kepada Uni Eropa,” kata Darmono Taniwiryono, Wakil Ketua DMSI, pekan lalu di Bogor.
DMSI mengirimkan feedback melalui laman https://ec.europa.eu. Otoritas Uni Eropa membuka kesempatan kepada publik untuk memberikan feedback mulai 8 Februari-8 Maret 2019.
Darmono menjelaskan bahwa rancangan peraturan RED II yang diusulkan tidak akurat dan tidak adil bagi industri minyak sawit.
Ada enam point yang menjadi alasan rancangan RED II perlu dikritisi bersama. Pertama, rancangan aturan ini tidak dapat diterima karena penghitungan angka emisi dan formulasi yang diterapkan oleh UE tidak tepat karena belum pernah dikomunikasikan dan diverifikasi.
“Rumus penghitungan (ILUC) ini memojokkan kelapa sawit dan diskriminatif. Formula penghitungan untuk komoditas sawit lebih tinggi dari tanaman minyak nabati lain,” ujar Darmono.
Darmono mengatakan seharusnya faktor pengali lebih kecil karena sawit lebih efisien. Selain itu, minyak sawit juga menghasilkan methane capture untuk menangkap emisi.
Kedua, penggunaan batas waktu 2008 tidak adil untuk Indonesia karena deforestasi untuk minyak nabati lainnya telah dimulai jauh sebelum pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Ketiga, asumsi bahwa perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan langsung dari daerah dengan cadangan karbon tinggi adalah salah karena itu bukan fakta aktual di Indonesia.
Keempat, permintaan global akan minyak nabati meningkat dan kelapa sawit adalah tanaman yang paling efisien untuk memenuhi kebutuhan dunia.
Kelima, pemerintah memiliki peraturan yang kuat tentang pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia termasuk moratorium ekspansi perkebunan kelapa sawit, oleh karena itu pendekatan ILUC yang diterapkan oleh UE tidak relevan dalam banyak aspek.
Keenam, perkebunan kelapa sawit telah menerapkan pengurangan emisi karbon melalui: a. Penangkapan metana untuk pengolahan limbah cair, b. Penggunaan pupuk yang dioptimalkan, c. Tingkatkan hasil perkebunan kelapa sawit petani.
Oleh karena itu, DMSI mendukung penuh lobi dan langkah diplomasi pemerintah RI untuk melawan rancangan peraturan RED II.
Sebelumnya, tiga negara produsen sawit sepakat melakukan joint submission untuk memberikan argumen berkaitan RED II. Menko Darmin kembali menegaskan, konsep yang digagas UE bukan hanya merupakan instrumen unilateral yang ditujukan untuk menyerang upaya negara-negara produsen minyak kelapa sawit dalam rangka pencapaian SDGs, namun juga menghambat semua biofuel yang diproduksi oleh negara-negara produsen kelapa sawit, tidak hanya yang diekspor ke Eropa. Hal ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara.
“Dalam kaitan ini, para Menteri sepakat untuk melakukan Joint Mission ke Eropa untuk menyuarakan isu ini kepada otoritas terkait di Eropa,” tegas Menko Darmin.
Selanjutnya, para Menteri sepakat untuk terus menentang rancangan peraturan tersebut melalui konsultasi bilateral, ASEAN, WTO, dan forum lainnya secara tepat. Pada saat yang sama, negara-negara produsen minyak kelapa sawit tetap terbuka untuk melakukan dialog terkait lingkungan dengan UE dalam kerangka UN SDGs 2030, yang telah diterima secara luas oleh negara-negara anggota PBB, termasuk UE dan negara-negara produsen minyak kelapa sawit.