JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah diminta menyusun peta jalan (roadmap) kewajiban petani untuk memiliki sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Tanpa persiapan matang, petani akan kesulitan menjual hasil Tandan Buah Segar (TBS) sawit kepada pabrik. Imbasnya, konflik sosial berpeluang terjadi di level bawah dan akan berdampak sistemik.
“Waktu Petani sawit tinggal 44 bulan lagi untuk wajib ISPO. Jangan petani dibiarkan sendiri. Petani harus menuntut tanggung jawab mereka yang menyusun Perpres ISPO tersebut,” ujar Dr.M.Amrul Khoiri, MP.,C.APO salah seorang Akademisi yang ikut dalam diskusi bertemakan “Teknis Administrasi Pelaporan PSR dan Prinsip ISPO Bagi Pekebun”, Selasa (16 Juni 2020).
Diskusi ini menghadirkan pembicara lain yaitu Ir. Ita Istiningdyah Munardini, MP, Kasubdit Standardisasi, Mutu dan Pembinaan Usaha Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI dan Kartika Suryaningrum, Sekretaris Jenderal Ikatan Auditor ISPO.
Terbitnya Perpres No 44 Tahun 2020, semua pelaku Pelaku Usaha Perkebunan Kelapa Sawit baik itu Perusahaan maupun Pekebun wajib bersertifikasi ISPO untuk menjawab tantangan pasar maupun lebih memastikan usaha perkebunan kelapa sawit yang layak secara sosial, ekonomi dan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ir. Gulat Manurung, MP.,C.APO Ketua Umum DPP APKASINDO bahwa persoalan inti dari penerapan ISPO ini di kalangan Petani adalah dari empat persyaratannya hanya satu syarat dapat dipenuhi yaitu kelembagaan Koperasi/Kel Tani, sedangkan yang 3 syarat lainnya tersebut yaitu Sertifikat, STDB, dan SPPL (Surat Pemantauan Pengelolaan Lingkungan).
Lebih lanjut Gulat menyatakan kewajiban sertifikat ISPO diharapkan tidak malah membuat runyam situasi perkebunan sawit petani. Petani sawit sejatinya mendukung sertifikat ISPO yang bertujuan memperbaiki tata kelola dan produkvititas perkebunan petani. Tetapi, petani meminta supaya persyaratan yang diminta ISPO juga bisa diselesaikan. Legalitas lahan Petani yang masih terjebak dalam kawasan hutan menjadi persoalan utama yang dihadapi petani terutama petani swadaya, selama ini petani tidak tahu ini kawasan dan itu bukan kawasan hutan,.
“Apalagi syarat utama ISPO itu kan harus Sertifikat, apa mampu Kementerian ATR/BPN mensertifikatkan 6,72 juta Ha kebun Petani diseluruh Indonesia 44 bulan kedepan?” ujar Gulat bertanya.
“Di lapangan, masih banyak petani tidak mengetahui apa itu ISPO dan manfaatnya bagi Petani. Sebagaimana yang dikatakan oleh Widodo Petani dari Kalimantan Tengah, bahwa Koperasi kami sudah ISPO tapi manfaatnya kepada harga TBS kami tetap saja sama dengan yang bukan ISPO, demikian juga dengan label sertifikat berkelanjutan lainnya sama saja, padahal biaya untuk mengurus ISPO itu cukup mahal,” ujar Widodo yang juga merupakan Ketua DPW APKASINDO Kalteng.
Pemerintah harus lebih aktif dan masif mensosialisasikan dan mendampingi petani dalam persiapan syarat ISPO dan menjelaskan manfaat ISPO bagi Petani, jika gak ada manfaat bagi petani jangan harap ISPO ini akan berhasil,”tegas Widodo.
Kartika Suryaningrum, Sekretaris Jenderal Ikatan Auditor ISPO mengakui petani sawit menghadapi tiga kendala dalam menpersiapkan ISPO antara lain legalitas, pendanaan dan pendampingan. Untuk legalitas, petani menghadapi persoalan seperti sertifikat lahan, Surat Tanda Daftar Budidaya ( STDB), Dokumen Lingkungan (SPPL), dan sumber bibit ( di berbagai wilayah tertentu).
Ir. Ita Istiningdyah Munardini, MP, Kasubdit Standardisasi, Mutu dan Pembinaan Usaha Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, meminta semua pihak optimis sertifikat ISPO dapat dijalankan. Begitupula dengan petani. Kementerian Pertanian sedang merancang Peraturan Menteri yang mengatur ISPO diantaranya wajib untuk perusahaan perkebunan dan pekebun (5 tahun sejak diberlakukan Perpres bagi pekebun) ; Prinsip dan kriteria pekebun (tidak dibedakan plasma dan swadaya); Sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi, disahkan oleh pimpinan LS; Kelembagaan ISPO: Dewan Pengarah diketuai oleh Kemenko dan Komite ISPO diketuai oleh Menteri Pertanian, KAN, LS ISPO, dan Skema sertifikasi untuk RL ISPO mengacu UU Penilaian Kesesuaian.