JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Jenderal TNI (Purn) Dr Moeldoko, S.IP., Kepala Staf Kepresidenan (KSP) RI terus bekerja untuk rakyat di saat massifnya serangan politik. Terbukti, Selasa (2 Januari 2021), pria kelahiran Kediri ini memimpin Rapat Koordinasi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Pusat, berkaitan Kawasan Hutan dan Peluang Penyediaan Lahan Pertanian dan Perkebunan.
“Reforma agraria adalah program utama bagi Presiden Jokowi. Untuk itulah, Presiden selalu memimpin sendiri GTRA baik internal dan rapat yang melibatkan CSO (Civil Society Organization),” ujar Moeldoko.
Menurut Moeldoko, konteks reforma agraria untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Keadilan itu bertujuan membantu petani supaya terhindar dari konflik, apalagi sudah ada UU Cipta Kerja. Dari konteks kesejahteraan sudah ditekankan bahwa kesejahteraan petani dapat ditingkatkan melalui mekanisme perhutanan sosial dan TORA. Oleh karena itu, program reforma agraria melibatkan lintas kementerian dan lembaga supaya padu serasi dan menghilangkan ego sektoral.
Rapat GTRA pusat ini dihadiri oleh Dr. Surya Tjandra (Wamen ATR/BPN), Letjend TNI M. Herindra (Wakil Menteri Pertahanan RI), Alue Dohong (Wakil Menteri LHK RI), Abetnego Tarigan (Deputi II KSP RI), Ir. Gulat ME Manurung, MP, CAPO (Ketua Umum DPP APKASINDO), Direktur Tata Ruang dan Penanganan Rencana Bappenas, Sumedi Andono Mulyo, dan Prof. Yanto Santosa (Guru Besar IPB University), Dr Bayu Krisnamurthi, serta pejabat kementerian terkait.
“Saya berharap (kementerian) serius menangani itu. Setelah rapat internal, kita rapat bersama dengan CSO yang menunggu perkembangan (reforma agraria). Jangan sampai ada laporan kepada presiden bahwa kita lambat, ini sudah berlangsung lama” jelasnya.
Terkait Food Estate, Moeldoko meminta kesiapan lahan di Kalimantan Tengah dan Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. “Kementerian LHK dan Kementerian ATR/BPN dapat meng-clearkan lahan ini. Kita ingin tahu detil kesiapan lahan di lapangan seperti apa. Lalu sudah dikerjakan sampai mana,” ujar peraih Adhi Makayasa ini.
Selanjutnya Abetnego Tarigan, Deputi II KSP RI, menjelaskan bahwa reforma agraria ingin membantu perkebunan rakyat yang banyak di dalam kawasan hutan. Faktanya sekarang dikelola oleh masyarakat tapi dalam kawasan hutan, imbasnya status legalitas kebun rakyat tidak jelas dan sulit mengakses perbankan. Perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan diperkirakan lebih dari 700 ribu hektar.
“Pelepasan kawasan hutan ini dapat diseimbangkan kepada kepentingan ekonomi, sosial, lingkungan dan pertahanan,” ujar Abetnego.
Sebagai informasi, target pelepasan kawasan hutan 4,1 juta hektare. Dari jumlah tersebut, penerbitan sertifikat baru 369.515 bidang seluas 204.565 hektare. Pencapaian target ini bergantung erat keberhasilan penyediaan TORA dari kawasan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat.
Dr (c) Gulat Manurung dalam pertemuan tersebut menyampaikan kendala petani sawit mengikuti program reforma agraria karena kebun petani diklaim dalam kawasan hutan. Lalu RPP sektor kehutanan Cipta Kerja melenceng dari keinginan Presiden Jokowi, pasal demi pasal semua terkait kawasan hutan dan sawit banyak yang nyeleneh dan bertentangan dengan UUCK sendiri.
“Contoh dalam RPP disebut petani harus menguasai tanah dalam kawasan hutan selama 20 tahun berturut-turut, ini tidak ada sama sekali hal itu dalam Batang Tubuh UUCK, yang ada disebut hanya 5 tahun, ini apa maksudnya ?. Masalah ini sangat mendesak, karena untuk apa ada program strategis pemerintah seperti PSR dan biofuel kalau kaki kami diikat dengan kawasan hutan,” keluhnya.
Apalagi dengan wajib ISPO bagi Petani yang mensyaratkan lahannya harus clear and clean. “Faktanya, kendala legalitas lahan menyulitkan petani untuk mengikukti PSR Petani sawit 82% gagal usul karena kendala kawasan hutan. Padahal sawit mereka umur 10-28 tahun,” jelasnya.
“Beberapa kali pertemuan, Presiden Jokowi tegas mengatakan supaya persoalan kawasan hutan segera diselesaikan, tapi para pembantu Presiden membuat visi misi sendiri-sendiri yang gak nyambung dengan Omnibus Law,” ujarnya.
Gulat mengapresiasi kehadiran Jenderal Moeldoko yang memimpin langsung rakor GTRA, ini membuktikan komitmennya untuk membantu petani dan masyarakat. Meskipun sedang sibuk dengan fitnah, tapi komitmen untuk penyelesaian masalah kawasan hutan menjadi yang utama dan tetap bekerja untuk rakyat.
Diceritakan auditor ISPO ini bahwa Jenderal Moeldoko ini sangat terbuka untuk bertemu komponen masyarakat. Sebab di KSP ada yang namanya program “KSP Mendengar”. Termasuk petani sawit sering datang dan mengadukan permasalahan petani kepada mantan Panglima TNI ini baik langsung ke Kantor KSP maupun bertemu diluar disela-sela kesibukannya, tidak pernah mengecewakan kami Petani jika ingin curhat.
“Pak Moeldoko sabar mendengar. Biasanya didampingi stafnya untuk mendengar dan mencatat persoalan kami. Memang itulah tugas beliau sebagai KSP,” pungkas Gulat.
Ia menyayangkan adanya tuduhan kepada Pak Moeldoko dari partai tertentu. “Aneh juga dituduh kudeta. Namanya kudeta itu ya dari dalam, bukan dari luar, justru yang perlu dikudeta itu kawasan hutan oleh petani, ini baru cocok kudeta. Misalkan istri teman curhat ke saya, apa saya kemudian harus dituduh mengkudeta rumah tangga teman itu? Yang bener sajalah,” tegasnya.
Ia meminta semua pihak membantu Presiden untuk menyukseskan penyesaian masalah hutan dan kawasan hutan ini.”Kami rakyat akan menilai, bukan pejabat atau politikus yang menilai, termasuk menilai partai mana yang benar-benar membantu menyelesaikan masalah kebun petani yang diklaim kawasan hutan. Lalu 21 juta petani akan memilihnya,” ujar Gulat.