JAKARTA, SAWIT INDONESIA – DPR akan melanjutkan pembahasan RUU Perkelapasawitan sesuai mekanisme yang ditetapkan. Walaupun, keluar surat Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang menyampaikan permohonan penghentian RUU kelapa sawit kepada Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Surat Mensesneg ini menyampaikan pendapat Koalisi LSM yang meminta RUU kelapa sawit dihentikan penyusunannya.
“Tetap lanjut (RUU). Tidak ada urusan dengan surat mensesneg karena menunjukan kalau pejabat tidak paham aturan dan konstitusi,”kata Firman Soebagyo, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI kepada sawitindonesia.com, dalam layanan pesan singkat pada akhir pekan lalu.
Firman Soebagyo bercerita bahwa dirinya menerima telpon dari Deputi Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Kementerian Sekretariat Negara (Kemsesneg) Muhammad Saptamurti. Melalui telepon, Saptamurti menjelaskan surat Mensesneg tidak ditujukan menghentikan tahapan penyusunan RUU Perkelapasawitan. Melainkan penyampaian pendapat dari Koalisi LSM kepada Menteri Pertanian.
“Jadi, sudah ada klarifikasi pihak Kemsesneg kepada saya. Walaupun juga tidak benar karena dalam surat itu (pembahasan RUU) minta dihentikan. Isi surat sama seperti yang disampaikan LSM. Ditambah lagi memakai kop Kementerian Sekretariat Negara RI,” kata Firman.
Menurut Firman RUU kelapa sawit dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang sudah masuk daftar Prolegnas ini telah disetujui oleh presiden yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).
Atas dasar itu, kata Firman, pemerintah tidak bisa mengintervensi RUU Perkelapasawitan sebagai hak inisiatif dewan.
“Yang membuat kami jengkel, RUU dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg), belum ditetapkan menjadi RUU inisiatif. Tapi Mensesneg meminta Mentan memberhentikan pembahasan,” katanya.
Makanya Firman meminta Menteri Pertanian Amran Sulaiman tidak merespon dan menindaklanjuti surat instruksi Mensesneg tersebut.
Masalahnya lagi adalah argumentasi dalam surat Mensesneg menggunakan data dari Koalisi LSM. Apalagi substansi yang disampaikan LSM itu tidak benar adanya.
“Ini bahaya kalau pejabat negara bisa diintervensi LSM. Kalau nantinya pemerintah tidak sepakat, harusnya nanti di pembahasan tingkat satu. Di situ nanti DPR akan berdebat dengan pemerintah. Karena setiap UU itu harus ada naskah akademik dan draf RUU. Naskah dan draf RUU itu hasil kajian dan serapan aspirasi masyarakat,” katanya.
Selain itu, Firman kurang sepakat tuduhan RUU ini overlaping dengan UU Perkebunan. Alasannya UU Perkebunan mengatur 127 komoditi. Sedangkan, RUU mengatur khusus tentang kelapa sawit.
“Makanya untuk menyelesaikan perkelapasawitan perlu sebuah UU yang sifatnya lex specialis. Apalagi sawit memberikan kontribusi devisa negara mencapai Rp300 triliun per tahun. Penerimaan dari sawit di atas devisa dari sektor minyak dan gas bumi,” katanya.
Perkebunan sawit itu mampu mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat di Pulau Jawa dan luar Jawa. Di sisi lain ada juga persoalan petani dan masyarakat adat yang perlu ditata ulang dan diatur karena banyaknya lahan milik masyarakat yang dihutankan kembali oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
.