Uni Eropa berusaha melunakkan sikap pemerintah dan pemangku kepentingan sawit di Indonesia. Berkali-kali menyatakan tidak ada sawit yang dihambat masuk Eropa. Kebijakan baru larangan produk pertanian dari hasil deforestasi bersifat kontra produktif.
Seminggu sebelum berkunjung ke Riau, Dubes Uni Eropa Vincent Piket bertemu Jend. TNI (Purn) Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan RI pada pertengahan November. Agendanya membangun dialog berkaitan kelapa sawit dan hubungan Indonesia-Uni Eropa.
“Terima kasih kepada Bapak Moeldoko yang menjembatani pertemuan dengan petani sawit (APKASINDO). Pertemuan ini membicarakan perdagangan kelapa sawit serta aspek keberlanjutan,” ujar Vincent Piket, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, dalam pertemuan tersebut.
Pertemuan ini juga dihadiri oleh Dr. Gulat Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Sawit Indonesia (APKASINDO) bersama Rino Afrino, Sekjen DPP APKASINDO.
Vincent Piket menjelaskan dialog ini sangat penting supaya tidak terjadi salah persepsi berkaitan kelapa sawit dan Uni Eropa. ”Pertemuan ini merupakan tahap pembelajaran bagi kami bagaimana sawit di Indonesia dalam pencapaian keberlanjutan dan bagaimana Eropa dapat menjadi mitra yang lebih baik,” jelasnya.
Salah satu isu yang diklarifikasi adalah hambatan dagang sawit di Uni Eropa.” Eropa tetap butuh kelapa sawit. Kami tetap membeli kelapa sawit dan punya minat besar,” ujar Piket dalam pertemuan tersebut.
Vincent Piket menjelaskan bahwa pasar Uni Eropa terbuka untuk kelapa sawit. Berdasarkan bea masuk, Uni Eropa menerapkan tarif rendah untuk kelapa sawit. Bahkan rerata 0% dan sebagian item dan di atas kuota tertentu itu menjadi hanya 10%.
“Tarif masuk di Eropa terbilang rendah dibandingkan negara importir sawit lain seperti Tiongkok, India. Negara lain tarif masuk sawit bisa di atas 20%,” urainya.
Piket menjelaskan bahwa Eropa punya keinginan yang kuat untuk menggunakan produk yang berkelanjutan khususnya kepada kelapa sawit. Uni Eropa mengadopsi kriteria sustanaibility secara spesifik biofuel dari kelapa sawit. Saat ini, berdasarkan regulasi dan penelitian di Eropa bahwa biofuel kelapa sawit tidak masuk kategori keberlanjutan.
Sekarang ini Indonesia, dikatakan Piket, sedang membawa persoalan ini ke WTO untuk menjawabnya. Untuk itu, perlu ditunggu tindak lanjut keputusan WTO untuk menyelesaikan permasalahan dalam perdagangan internasional.
Selanjutnya, Kepala Staf Kepresidenan Dr Moeldoko menegaskan, Uni Eropa membutuhkan kelapa sawit Indonesia. Buktinya ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa naik hingga 26 persen pada 2020.
“Yang dipermasalahkan Uni Eropa soal keberlanjutan biofuel yang berasal dari kelapa sawit, bukan pada kelapa sawitnya,” terang Moeldoko.
Moeldoko menambahkan, Uni Eropa saat ini menerapkan standar tinggi dan ketat dalam membeli produk dari negara lain, bukan hanya pada kelapa sawit tapi juga komoditi lain.
“Salah satu standar yang dipakai apakah produk atau komoditi tersebut memberikan dampak pada perusakan lingkungan atau tidak. Nah ini yang harus menjadi perhatian semua, termasuk para petani sawit,” sambung Moeldoko.
Vincent Piket mengakui, negara-negara Uni Eropa berambisi menjadikan Eropa sebagai benua netral iklim pada 2050, dan dapat mengurangi emisi karbon sebesar 55 ℅ pada 2030.
“Ada perubahan aturan-aturan yang diprediksi akan memperketat, atau bahkan melarang masuknya produk yang tidak ramah lingkungan ke Eropa. Karena itu Indonesia memproduksi komoditas-komoditas yang diekspor ke Eropa dengan lebih berkelanjutan,” ungkap Vincent.
Tanggapi persyaratan pasar Uni Eropa tersebut, Ketua Umum APKASINDO Gulat Manurung mengklaim, petani sawit Indonesia sudah mengedepankan keberlanjutan, baik dari sisi ekonomi, ekologi, dan sosial.
“Empat puluh dua persen petani di 22 provinsi di Indonesia harus berkelanjutan dalam mengelola sawit sesuai aturan yang ada pada omnibus law cipta kerja,” jelas Gulat.
Seperti diketahui, Komisi Uni Eropa telah mengancam keberlangsungan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia ke Eropa melalui regulasi Renewable Energy Directive (RED II) yang dikeluarkan pada 2018.
Kebijakan ini mewajibkan negara-negara Uni Eropa harus menggunakan RED II paling sedikit 32 persen dari total konsumsi energi negaranya. Tidak hanya itu, kebijakan tersebut juga mengesampingkan bahkan mengeluarkan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku produksi biofuel.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 121)