Baru saja utusan diplomatik yang dipimpin duta besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia mengunjungi beberapa perkebunan kelapa sawit beserta industri pengolahannya di Propinsi Riau dan Jambi. Kunjungan tersebut merupakan bentuk apresiasi upaya-upaya pemerintah Indonesia dalam pengelolaan industri kelapa sawit yang lestari dan berbasis pada people, profit dan planet sebagaimana dipaparkan oleh Menteri LHK pada agenda pertemuan working group Uni Eropa bidang lingkungan hidup dan perubahan iklim pada akhir Maret 2018 di Brussel.
Dalam perspektif diplomasi, kunjungan duta besar UE untuk Indonesia bersama perwakilan diplomatik dari negara-negara yang tergabung dalam UE merupakan langkah positif. Mengingat ini baru pertama kalinya dalam sejarah duta besar UE mengorganisir perwakilan diplomatik dari negara UE untuk melihat secara langsung dampak positif dari perkebunan kelapa sawit di Indonesia, khususnya manfaat bagi petani plasma serta dampak positif sosial-ekonomi dari industri perkebunan dan pengolahan kelapa sawit Indonesia.
Dalam kunjungan tersebut perwakilan diplomatik dari UE juga mendapat pemaparan secara langsung serta dapat melihat bahwa saat ini industri kelapa sawit di Indonesia telah dibangun berbasis green growth economic. Kunjungan ini secara diplomatis dipandang strategis karena melalui kunjungan ini perwakilan diplomatis dari negara-negara uni eropa dapat memperoleh informasi empiris sebagai bahan pembanding atas laporan berjudul Studies on EU action to combat deforestation and palm oil yang diterbitkan uni eropa akhir 2017. Laporan inilah yang kemudian menjadi pangkal persoalan antara UE dan Indonesia.
Diplomasi Belum Selesai
Serangkaian diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia maupun perwakilan diplomatik UE saat ini belum usai, diplomasi yang diharapkan bukan saja serangkaian kegiatan seremonial tetapi pada manfaat perekonomian yang dicapai setelah diplomasi tersebut. Secara kasat mata diplomasi membela sawit Indonesia memang belum usai, hal ini terlihat dari jaringan supermarket Iceland.Co di Inggris yang menghentikan penjualan produk berbahan kelapa sawit maupun perang dagang Indonesia dan Norwegia terkait boikot penggunaan produk turunan kelapa sawit. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa diplomasi sawit Indonesia dan UE belum menyelesaikan akar masalah.
Hukum diplomatik sebagaimana diatur dalam konvensi Wina 1961 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa pada asasnya hubungan diplomatik harus berdasarkan bonafides (itikad baik). Itikad baik dalam terminology diplomasi tersebut dibagi dalam perilaku diplomatic resiprositas (timbal balik), persetujuan antar bangsa harus ditaati serta prinsip keadilan yang setara. Dalam hal ini pemerintah Indonesia sudah menunjukkan itikad baik berupa pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan dengan mengikuti segenap sertifikasi yang diakui uni eropa seperti misalnya RSPO dan ICC serta telah membuktikan Industri kelapa sawit Indonesia berbasis triple bottom line (people, profit dan planet).
Dalam konteks resiprositas terhadap produk-produk pangan dari UE Indonesia tidak pernah mendiskreditkan produk UE. Menteri perdagangan menyampaikan protes melalui nota keberatan terkait pernyataan parlemen Norwegia tentang larangan masuk crude palm oil (CPO) beserta produk turunannya. Dalam keberatan tersebut Indonesia juga menyampaikan rencana resiprositas terkait penghentian rencana kerjasama maupun impor produk pangan dari Norwegia, keberatan Indonesia tersebut dapat dipahami dalam konteks diplomatik mengingat perbandingan year on year di tahun 2017 ekspor ke Norwegian sebesar US$ 64,5 juta sedangkan Impor dari Norwegia sebesar US$ 237,7 juta di tahun yang sama.