JAKARTA, SAWIT INDONESIA – APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) melanjutkan diplomasi dan silaturahmi untuk memberikan masukan kepada Pemerintah di tengah anjloknya harga TBS petani pasca pencabutan larangan ekspor.
Diplomasi selanjutnya melalui dialog dengan Prof. Dr. K. H. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden RI, Kamis siang (28 Juli 2022). Pertemuan ini akan dihadiri Rino Afrino (Sekjen APKASINDO), Gusdalhari Harahap (Ketua DPW APKASINDO Sumatera Utara), Qayuum Amri (Ketua Bidang Komunikasi DPP APKASINDO), KH Suher (Ketua DPW APKASINDO Riau), H. Wawan (Ketua DPW APKASINDO Banten), JMT Pandiangan (Ketua DPW APKASINDO Kalteng), Suhendrik (APKASINDO Kaltara), Siswanto (Ketua DPW APKASINDO Sulteng), Albert Yoku (Ketua DPW APKASINDO Papua), dan Graha Pura (Sekretariat APKASINDO).
Dr. Gulat ME Manurung, MP, CIMA, Ketua Umum DPP APKASINDO menjelaskan pertemuan ini melaporkan perkembangan santripeneur sawit yang sudah berjalan di dua provinsi yaitu Riau dan Kalimantan Barat. Program santripreneur adalah penyediaan bibit unggul siap tanam untuk program peremajaan sawit rakyat. Di Provinsi Riau, bibit yang ditangkar berasal dari Sinarmas (Damimas), PPKS Medan, Sampoerna Agro (Sriwijaya), dan Asian Agri (Topaz) yang jumlahnya saat ini sudah mencapai 100 ribu bibit dengan umur bertingkat.
“Selain itu, kami akan membahas juga perkembangan UMKM Santripreneur berbasis Home Industri Pabrik Minyak Makan Merah (M3) di Pondok Pesantren. Selain itu Program Beasiswa Santri untuk kuliah di Universitas Vokasi Sawit, Kerjasama dengan BPDPKS,” urainya.
Pembahasan lainnya adalah mendiskusikan situasi terkini petani sawit berkaitan semakin anjloknya harga TBS Petani. APKASINDO mengapresiasi kebijakan pemerintah yang melakukan berbagai upaya menaikkan harga TBS Petani seperti penundaan sementara Pungutan Ekspor (PE) dengan harapan harga TBS petani bisa naik. Namun harapan kenaikan harga TBS petani masih jauh dari rencana. Sebelumnya diketahui bahwa penghapusan PE USD200/ton CPO diharapkan akan menaikkan harga CPO Domestik Rp3.000/kg yang berdampak terdongkraknya harga TBS sebesar Rp1.000/kg.
Merujuk ke harga CPO domestik hasil tender KPBN, faktanya harga CPO hanya terdongkrak Rp1500/kg (dari Rp8000 menjadi Rp9.500/kg). dan tbs petani hanya naik Rp250/kg (dari Rp1.000/kg menjadi Rp1.250/kg);
Dalam pertemuan ini, dikatakan Gulat akan disampaikan pula 5 penyebab utama belum naiknya harga TBS petani:
- Masih belum kembali normalnya ekspor sawit dimana Pembelian CPO dari PKS-PKS (yang mengolah TBS petani) dengan harga rendah oleh Pembeli CPO atau Pabrik Refinary sehingga mengakibatkan PKS-PKS tadi akan menekan harga bahan baku CPO tersebut (TBS).
- Ketidakpastian iklim bisnis minyak sawit mengakibatkan ketidakpastian ini ditransmisikan ke harga TBS (biaya ketidakpastian tersebut).
- Beban-beban dari CPO terlampau berat, seperti DMO, DPO, FO, BK. Semua beban ini dibebankan ke harga tbs petani.
- Rujukan harga CPO Indonesia yang dipatok ke harga CPO hasil tender KPBN. Harusnya harga referensi CPO tersebut berdasarkan ke harga Referensi Kementerian Perdagangan (sesuai Permendag 55/2015);
- Kelangkaan Minyak Goreng Sawit (MGS). Kelangkaan dan mahalnya MGS merupakan awal mula kekacauan industry sawit Indonesia. Untuk antisipasi kedepannya supaya MGS terkhusus MGS Rakyat tidak terjadi lagi kelangkaan dan harga yang mahal, maka perlu dilakukan pendirian Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik petani sawit (koperasi) dan pendirian Pabrik Minyak Makan Merah (M3) ditengah perkebunan sawit rakyat. Subsidi MGS Rakyat dengan menggunakan dana BPDPKS adalah solusi terbaik kedepannya. Jadi berapapun harga CPO dunia, harga minyak goreng harus sesuai HET. Jadi selisih ke ekonomian harga MGS Rakyat akan disubsidi dari dana BPDPKS.